Siang ini kuhirup es teh manis sambil menyeka air mata di pipi.
Nama warung itu “Lodoyo”, ini adalah kali kesekian aku kemari. Selain ayam lalapan yang lezat, sambalnya bersahabat di lidah. Hal lain yang aku suka adalah alunan murotal yang diputar sepanjang hari, ditambah dengan detail warung yang memang dijalankan dalam sebuah rumah berpetak-petak sekitar 200 meter persegi. Sempurna, serasa makan di rumah.
Kupesan seporsi ayam lalapan jumbo bagian paha, lengkap dengan es teh manis dan kol goreng kesukaan. Siang ini cukup terik, es teh adalah sahabat terbaik bagi ayam lalapan yang mungkin lebih dikenal dengan nama pecel lele. Sambil menunggu pesanan, aku mengambil beberapa gambar dan video. Alunan murotal semakin nyaring seiring berkurangnya pengunjung, karena memang sudah lewat dari jam makan siang.
“Maaf, tadi pesan minumnya apa?”
“Es teh, Mas.”
Tidak lebih dari lima menit, Mas yang tadi bertanya kembali dengan segelas es teh dan meletakkannya di meja.
“Pesanan nomor 70 ya, Kak?”
“Iya, benar.”
“Satu porsi lalapan ayam jumbo - bagian paha?”
“Iya, benar, Mas.”
Ia meletakkan dua buah piring yang lengkap sesuai pesanan: sepotong ayam bagian paha, lalapan, kol goreng, dan sambal yang terlihat lezat dan menggiurkan. Sepiring lainnya berisi nasi yang ditata serupa mangkuk.
“Terima kasih ya,” ucapku sambil mendekatkan posisi piring yang siap disantap.
Alunan murotal mengalun, aku masih asyik melahap makanan. Tidak lama kemudian, seorang pria duduk di meja yang searah tepat di hadapanku. Aku menoleh, seorang pria berusia kurang lebih 70-an, posturnya cukup gemuk sedikit, tidak tinggi, dengan rambut sebagian memutih dan peci haji. Alunan murotal terus mengalun.
Deg! Di tengah asyiknya menikmati makanan, tiba-tiba sesuatu yang aneh menyisir relung hatiku. Aku terus melanjutkan makan, berusaha mengabaikan.
Nasi sudah hampir habis, sedikit lagi, seiring perasaan yang semakin kuat. Alunan murotal terus mengalun, bapak di hadapanku sudah mulai menikmati makanannya. Kulanjutkan suapan-suapan terakhir, mengabaikan perasaan yang menyapaku. Namun, pikiran selalu bergerak lebih cepat dari apa pun.
“Kenapa dulu nggak pernah ajak Bapak ke sini ya waktu ke Balikpapan?” Batinku menyapa dengan pertanyaan yang membuat kekosongan itu semakin hebat, pikiran yang seketika terbang ke waktu-waktu yang lalu.
“Andai Bapak ada, pasti Bapak senang diajak ke sini. Inikan murotal kesukaan Bapak.” Sepasang mataku kian hangat, rasanya ada yang tercekat di tenggorokan. Kuhentikan suapan, kuteguk es teh dengan pikiran yang masih terus bicara tanpa henti. Sesekali pikiran itu terbang ke masa lalu. Wahai rindu, tidak bisakah menunggu sebentar lagi, sesuap lagi.
Februari 2012 adalah langkah awal hijrahku, hari pertama aku mengenakan hijab. Saat itu aku memutuskan meninggalkan pekerjaan dan pulang ke kampung halaman untuk tinggal bersama Bapak. Setelah sekian tahun berlalu, saat aku tumbuh dewasa, akhirnya aku memiliki pilihan untuk tinggal bersamanya. Pilihan yang sebelumnya tidak pernah bisa aku perjuangkan, seberapapun inginnya aku hidup bersamanya.
Beberapa kejadian buruk kadang membawa kita pada hal-hal baik lainnya, itulah yang aku alami saat itu. Pernah melalui 1,5 tahun hidup dengan Bapak ternyata adalah salah satu kesempatan terbaik yang pernah aku terima dalam hidupku. Menyaksikan bagaimana beliau melalui harinya, mendengar banyak cerita yang lama ia simpan sendirian, melihatnya memasak makanan sederhana dengan cara-cara simpel yang cenderung aneh, mendengar nasihat bijak yang dijadikan pegangan hidup.
Saat itu hanya aku yang tinggal bersama Bapak. Kakak pertamaku sudah berkeluarga dan tinggal dengan istrinya. Saudara perempuanku yang lain masih di Balikpapan bersama Nenek. Sempurna sudah, aku hidup seperti anak tunggal dalam waktu kurang lebih satu setengah tahun. Merasakan perhatian yang utuh. Bapak segera tahu betapa aku suka makan mangga, tidak jarang Beliau sengaja mengupas dan mengiriskannya. Bahkan tahun-tahun setelahnya Bapak selalu mengabari setiap pohon mangga berbuah, membawanya buah mangga dari pohonnya terbang ke Balikpapan bila kebetulan Beliau sedang ingin berkunjung. Sepotong perhatian yang tidak akan kudapat dari yang lain.
Setiap pagi Bapak selalu menyiapkan ramuan madu hutan dan tepung kanji untuk obat sakit gerd yang aku derita. Di siang hari, Bapak sering membawa semangkok bakso sepulang dari masjid karena tahu bahwa aku tidak terlalu suka makan ikan. Menjelang magrib, kami pulang dari kios ke rumah dengan sebuah motor tua melewati area persawahan menikmati warna senja yang hangat. Bapak yang selalu mengendara dengan sembrono, dan aku yang selalu memasang wajah merengut sambil mengomel karena Bapak tidak memperlambat laju kendaraan saat polisi tidur. “Bapak nggak lihat,” ucapnya, selalu.
Bapak hanyalah seorang tukang jahit, bukan pegawai kantoran apalagi ASN. Bapak suka menjahit sejak beliau masih muda. Pergi merantau ke kota dan membuka kios sendiri, nama kiosnya “Rezky Taylor”. Di sanalah beliau bertemu Ibu, anak dari pemilik kios yang beliau sewa. Sesederhana itu pertemuan mereka. Meski saat itu Ibu bukanlah pilihan pertama Bapak, Ibu hanya second choice, seseorang yang Allah hadirkan sangat dekat untuk mengobati luka atas cinta pertama Bapak.
Alunan murotal terus mengalun seiring perjalanan ingatanku ke hari yang lalu. Misyari Rashed adalah murotal kesukaan Bapak. Bapak selalu mendengarkan murotal ini sambil bekerja. Kadang kalau kutinggal sendirian ke lantai dua, aku mendengar beliau seolah sedang menjalankan sebuah drama. Memanggil namanya sendiri kemudian berlagak seolah sedang ikut lomba MTQ, membaca Al-Qur’an dengan sempurna lengkap dengan taawudz dan membacanya dengan tartil dan alunan nada. Ditutup dengan sadakallah dan ucapan terima kasih. Biasanya aku selalu menahan langkah, berhenti duduk di tangga kalau Bapak sedang berakting, tidak mau mengganggu khayalannya, hanya tersenyum sambil berdoa, “Ya Allah, sehatkan Bapakku.”
Bapak selalu bekerja dengan santai, tidak ngoyo. Bapak adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang memilih hidup dengan tenang tanpa banyak keinginan. Yang penting sudah punya rumah asal sederhana, tidak perlu barang mewah di dalamnya, yang penting ada tempat istirahat. Makan sesuai kesanggupan, jangan mudah berutang, jangan ikut gaya hidup orang lain. Yang Allah nilai dari hidup ini adalah takwa kita. Jadi, luangkan waktu untuk ibadah. Rezeki sudah Allah atur, tapi amal itu upaya kita masing-masing. Begitu ucapnya berkali-kali sambil menjahit.
Ada satu momen yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebagai tukang jahit di daerah Sulawesi Selatan, hampir setiap hari ada pesanan menjahit baju umroh. Karena kebiasaan orang Bugis untuk sering-sering umroh hampir setiap tahun, entah ini seragam keberapa yang beliau jahit.
“Tanggal 13 jadi ya, Pak? Saya tanggal 20 sudah berangkat.”
“InsyaAllah, nanti saya kabari. Karena ini juga sudah ada pesanan yang lebih dulu masuk 5 pasang, kainnya juga sama. Berangkatnya juga bersamaan sepertinya.”
“Yaaa mudah-mudahan bisa ya, Pak Haji. Yasudah saya tinggal. Terima kasih, Pak Haji.”
Ucap pria itu sembari bergegas.
“Nggak tahu ini baju umroh keberapa yang Bapak jahit,” ucapnya sambil melipat dan merapikan kembali kain yang baru diterima.
“Mungkin karena Bapak suka pakai peci, Bapak sering dipanggil haji di sini. Hampir semua orang panggil Bapak, Pak Haji. Padahal Bapak cuma jahit bajunya, belum pernah berangkat umrohnya,” ucapnya tersenyum sambil merapikan letak pecinya. Deg Batinku terketuk. Ada hangat menyeruak di dalam hatiku mendengar ucapan beliau. Rasanya sedih. Bapak adalah orang yang sederhana, yang jarang punya keinginan. Kalau Bapak berucap demikian, mungkin itulah satu-satunya keinginan terbesarnya saat itu.
Diam-diam aku berdoa, “Ya Allah, aku mohon umrohkan Bapak dengan rezeki yang Kau datangkan dari arah mana pun yang Engkau kehendaki.” Ucapku berulang-ulang menahan air mata, takut Bapak melihatnya. Saking sedihnya, tenggorokanku tercekat dan tidak menjawab apapun atas ucapan Bapak siang itu, aku terdiam. Tapi berulang-ulang kujawab ucapan itu dengan doa yang penuh harap kepada Allah. Alhamdulillah, Allah menjawabnya dua tahun kemudian.
Murotal itu terus mengalun seiring ingatanku yang melangkah ke waktu-waktu yang lalu. Misyari Rashed, murotal kesukaan Bapak yang selalu diputar sambil bekerja. Beberapa bulan yang lalu, sepulang dari pemakaman Bapak, aku dan kakak ipar bercerita sambil mendengarkan Misyari Rashed.
“Ini murotal kesukaan Bapak, ya Kak?”
“Iya, Bapak selalu putar ini. Bapak suka mencontoh alunannya kalau jadi imam di masjid. Orang di masjid suka sekali kalau Bapak yang jadi imam shalat Jum’at. Masjid Bucinri itu uangnya tidak banyak, jadi tidak bisa bayar mubaligh dari luar, makanya minta tolong ke Bapak. Kalau Bapak bisa dibayar sekedarnya. Malahan ada yang cerita ke saya, Bapak selalu menerima amplop bayaran tapi tidak pernah dibawa pulang, dimasukkan kembali ke kotak infaq masjid itu.”
Aku diam menyimak sambil menahan air mata. Bapak hebat, batinku.
“Kamu tahu nggak berapa banyak hafalan Al-Qur’an Bapak?”
“Bapak hafal Al-Qur’an, Kak?”
“Jangan salah. Kamu sering dengar Bapak akting seperti sedang lomba, kan? Bapak juga selalu dengan murotal sambil bekerja, itu cara Bapak mengulang-ulang hafalannya. Kalau berdasarkan hitungan, Bapak diperkirakan hafal 15 juz Al-Qur’an, tapi tidak runut. Beliau hafal masing-masing juz sebanyak lima lembar, kecuali juz 30, Bapak hafal semuanya. Kalau ditotalkan, ya sekitar 15 juz. Katanya Bapak menghafal karena sering diminta jadi imam, dan Bapak malu kalau bacaannya hanya itu-itu saja. Jadi Bapak sengaja menghafal terutama untuk shalat tarawih, jadi satu kali tarawih Bapak akan baca setengah juz itu dari rakaat satu sampai selesai.”
Alunan murotal itu terus mengalun seiring hangat yang menyeruak di sepasang mataku. Aku rindu Bapak. Aku bangga jadi anak beliau. Semoga Bapak tenang di sana, semoga Bapak sudah bahagia sepanjang hidupnya yang sederhana itu, semoga Bapak pernah bahagia karena pernah ada aku, semoga aku bisa seperti beliau: hidup dengan sederhana dan menjadikan Allah tujuan utama. Alunan murotal itu terus mengalun, kuhirup es teh dengan air mata yang tidak bisa kutahan lagi. Harusnya es teh ini bisa menyegarkan. Tapi ada cekat yang tertahan di tenggorokanku.
Pah, ada anak perempuan yang mengubur satu mimpinya saat Kau pergi. Anak perempuan yang bangga melihat caramu pergi, tapi selalu gagal menghadapi kesedihannya. Aku belum berhasil. Kata Mba Tyas, waktu berduka atas kehilangan itu maksimal 6 bulan. Tapi Pah, adakah waktu berduka bagi seorang anak perempuan yang kehilangan satu-satunya cinta terbaik dalam hidupnya? Kurasa tidak akan pernah. Tapi terima kasih, aku sudah tumbuh dengan doa-doamu yang lalu. Segala baik yang memelukku hari ini dan esok lusa, aku tahu adalah bagian dari tirakatmu. Seperti Nabi Ibrahim yang berhasil memiliki anak yang saleh seperti Nabi Ismail, meski dalam hidupnya mereka hanya bertemu beberapa kali. Semoga di jarak yang jauh, aku selalu hidup dalam lindungan doa-doa dan nasihatmu. Hidup menjaga segala baikmu, dan menjadi salah satu amal jariyahmu yang terus mengalir, mengulang segala baikmu. Doakan aku, tetaplah doakan aku.
0 komentar