https://pin.it/4DUDKvjmd |
Salah satu kisah dari Nabi Ibrahim AS yang sukses buat aku baper banget adalah ketika beliau harus meninggalkan istri dan bayinya yang masih merah di padang pasir yang tandus dan gersang.
Kalau selama ini ketika mendengar kisah nabi Ibrahim kita lebih familiar dengan kisah dibalik perintah Qurban, ada kisah lain sebelum perintah itu turun yang gak kalah bapernya lho. Yaitu ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk membawa Hajar dan Ismail menuju gurun pasir tandus yakni lembah Bakkah yang saat ini lebih kita kenal dengan sebutan Kota Makkah.
Seperti yang sudah saya ceritakan di kisah sebelumnya pada kisah Ibunda Sarah, disini saya akan cerita secara singkat perihal Sayyidah Hajar. Menurut riwayat ada dua versi yang perlu di padu padankan. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Sayyidah Hajar adalah putri seorang Raja, di riwayat lain dikatakan bahwa beliau adalah seorang budak. Dikutip dari buku IBRAHIM “Manusia Paling Mesra dengan Tuhannya” karya Ust Salim A. Fillah. Maka kedua riwayat tersebut dipadukan bahwa memang Hajar adalah putri dari Raja Mesir, namun bukan Mesir Hilir yang dikunjungi oleh Nabi Ibrahim melainkan Mesir dibagian Hulu. Pada suatu zaman kedua kerajaan tersebut berperang dan Mesir hulu mengalami kekalaham sehingga keluarganya diambil menjadi tawanan, inilah yang akhirnya menjadikan Hajar sebagai budak. Yang kemudian oleh sang Raja dihadiahkan kepada Sarah pada kunjungannya saat itu.
Singkat cerita pada saat itu Sarah - istri dari Nabi Ibrahim belum juga di karuniai anak, sehingga menimbulkan keresahan dan kegundahan di hati Nabi Ibrahim yang berharap memiliki keturunan untuk melanjutkan risalah tauhid yang dibawanya, melanjutkan perjuangannya menyebarkan agama Allah. Melihat keresahan itu maka Sarah meminta sang Suami untuk menikahi Hajar. Meski awalnya Nabi Ibrahim sempat menolak namun akhirnya beliau menyetujui.
Maka atas pernikahan tersebut lahirlah seorang anak laki-laki yang kelak juga akan menjadi Nabi yaitu Ismail. Kelahiran Ismail mengakibatkan perhatian Nabi Ibrahim semakin terbagi bahkan cenderung lebih memperhatikan Hajar. Maklumlah ya namanya juga baru lahiran, dan ada anak bayi yang memang sudah lama dinantikan. Namun Sarah wanita biasa, yang akhirnya merasakan cemburu ketika merasa semakin terbagi perhatian suaminya. Sehingga rasa cemburu itu pada suatu hari membuatnya sangat emosi dan bersumpah akan memotong tubuh Hajar menjadi tiga bagian (cemburunya wanita itu memang menyeramkan ya guys dari jaman dulu).
Atas kejadian tersebut, karena Allah juga begitu mencintai Sarah maupun Hajar, karena keduanya sama-sama wanita salehah maka Allah menurunkan perintah kepada Nabi Ibrahim untuk membawa Hajar ke lembah Bakkah. Agar masalah tersebut tidak meruncing dan menjadi masalah yang besar. Ketika Sarah marah, Hajarpun mengenakan pakaian yang disebut Nithaqah atau sabuk yang diikatkan kepinggang untuk mengikat kain kebawah, ini adalah simbol pakaian seorang pelayan. Seakan ia ingin mengatakan kepada Sarah “Wahai Yunda sesungguhnya aku hanyalah pelayanmu. Tidak mungkin aku bermaksud buruk kepadamu, dan anak ini hakikatnya adalah anak kita, bukan hanya anakku saja.” MasyaAllah betapa tulus dan sabarnya ya Sayyidah Hajar sebagai seorang wanita, memang inilah salah satu ciri karakter wanita salehah, hatinya tulus, perangainya sabar dan penuh kasih sayang.
Setelah itu kecemburuan Sarah mereda, lalu sumpah untuk memotong tubuh Hajar kelak Allahpun menggantikan untukknya satu sunnah kebaikan yang ditunaikan kepada wanita, yaitu dengan menindik telinga kanan dan kiri untuk memasang giwang atau anting dan dengan melakukan khitan bagi perempuan. Namun perjalanan itu tetap dilakukan, sebab inilah kelak yang menjadi muasal timbulnya peradaban baru di kota Makkah. Bahkan Hajar pergi menggunakan pakaian Nithaqah dan kainnya yang sangat panjang yang dibiarkan terjulur ketanah sehingga setiap langkahnya tersapu oleh pakaiannya, agar Sarah tidak dapat mengikuti kemana Hajar pergi.
Hajar melangkah pergi membawa bayinya, meski ia tak pernah tau kemana sebenarnya suaminya hendak membawanya beserta bayinya. Namun disinilah letak kemuliaan seorang wanita yang salehah, ia patuh kepada sang suami apapun yang diperintahkan. Sebab ia tau bahwa suaminya adalah seorang yang soleh, maka untuk lebih mudah mematuhi suami pilihlah ia yang soleh yang kamu yakin pantas untuk di patuhi seumur hidup. Kepatuhan inilah yang kelak akan membawa kemuliaan pada Hajar.
Alkisah sampailah mereka ke lembah Bakkah atau Makkah. Ketika tiba Hajar berhenti menyusui Ismail yang masih bayi merah pada saat itu. Ketika Hajar sedang menyusui turunlah perintah dari Allah kepada Ibrahim “Wahai Ibrahim, tinggalkan anak dan istrimu di lembah ini” Ibrahim cukup terkejut mendengar perintah itu. Bagaimana beliau sebagai seoang suami harus meninggalkan istri dan bayinya yang masih merah di lembah yang tidak ada satupun hal disana. Bukankah seharusnya ia menjaga dan menemani mereka. Namun beliau diperintahkan oleh Allah untuk berpisah, meninggalkan kedua makhluk lemah ini di lembah yang begitu kering, gersang, tandus tanpa makhluk hidup satupun disana. “Bagaimana mungkin aku harus meninggalkan Mereka ya Allah. Tidak ya Allah ini sangat berat bagaimana mungkin aku lari dari tanggung jawab dengan pergi meninggalkan bayi merah aku dan istriku.” Perasaan Ibrahim campur aduk, beliau merasa sedih dan tidak berdaya. Namun disisi lain beliau meyakini, bukankah ini adalah perintah Allah, maka perintah itu pastilah yang terbaik. Beliau tahu bahwa perintah Allah tidak mungkin membawa keburukan bagi hambanya. Dengan berprasangka baik kepada Allah maka Ibrahim pun berjalan ke arah utara perlahan-lahan kembali ke Kan’an, Baitul Maqdis. Berniat hanya di dalam hatinya tanpa mengatakan apapun - tanpa berpamitan kepada Hajar, sebab ini sungguhlah sangat berat baginya. Bagaimana mungkin ia harus mengatakan kepada Hajar bahwa ia akan pergi meninggalkan mereka. Beliau melangkah perlahan tanpa kata-kata.
Ketika melihat Ibrahim berjalan ke utara Hajar yang sedang menyusui bayinya kemudian tersadar, ia bangkit berdiri berlari kecil mengejar Ibrahim dan bertanya “Hai Ibrahim kenapa kau tinggalkan kami?” Ibrahim yang mendengar pertanyaan itu serasa di palu Godam di dalam dadanya. Seperti sebuah batu besar menghantam hatinya. Beliau tidak sanggup menjawabnya. Sebagaiaman sikap laki-laki pada umumnya ketika dihadapkan pada persoalan yang pelik dan rumit beliau juga kesulitan untuk berkata-kata. Tidak ada jawaban yang bisa diberikan, di dalam hati beliau hanya terus berdoa.
Hajar masih bertanya “Hai Ibrahim kenapa kau tinggalkan kami?” Dan Ibrahim tetap berjalan sambil menghela nafas panjang sambil berdoa di dalam hati. Sampai tiga kali Hajar bertanya Ibrahim tidak mampu menjawab. Maka dengan kecerdasan Hajar yang merubah pertanyaan tersebut sebab Dia sangat mengenal suaminya. Dia tau bahwa suaminya tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu maka dia mengganti pertanyaannya dengan “Apakah ini perintah Allah?”
Seketika nabi Ibrahim berbalik menggenggam tangan istrinya menatap matanya kemudian berkata “Benar, ini perintah Allah.” Maka Hajar bergegas menepis tangan suaminya dan berkata “Kalau ini perintah Allah maka sekali kali Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan kami, pergilah.”. Keyakinan yang luar biasa yang tumbuh dalam hati Hajar kepada Allah. Sebab ia tahu bahwa ini adalah perintah Allah maka sekali kali ia tidak akan pernah mempertanyakannya. Perlindungan Allah bagi kami adalah cukup, lebih dari perlindungan semua manusia, bahkan perlindungan dari suaminya sendiri. Allah lebih Agung dan mulia. Begitulah keyakinan di hati Hajar. Ibrahim pun kembali melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih mantap sebab beliau percaya kepada istrinya.
Namun sebagai seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab, kesedihan itu tetap beliau rasakan di dalam hatinya. Dalam perjalanannya nabi Ibrahim terus berbicara kepada Allah didalam hati. Ya Allah aku tinggalkan anak dan istriku dilembah yang tidak ada kehidupan didalamnya. Tidak ada air, tidak ada tumbuhan, tidak ada unta disana, maka jagalah mereka dengan sebaik-baik penjagaanMu ya Allah. Lalu beliau berdoa “Ya Allah buatlah hati manusia condong kepada mereka, buatlah hati manusia terpaut ke Kabbah. Agar ada kehidupan disana, agar mereka tidak seorang diri disana.” Betapa luar biasanya doa Nabi Ibrahim tersebut sehingga kita semua bisa merasakan pengabulan doa tersebut hingga hari ini.
Melanjutkan perjuangan Hajar di gurun pasir yang tandus. Keyakinan kepada Allah sangatlah kuat “Kalau ini perintah Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Namun apakah Allah membiarkan keyakinan itu hanya sebatas keyakinan? Apakah Allah dengan mudah memberi pertolongan begitu saja? Tidak. Ujian atas ungkapan keimanan Hajar itu juga juga dirasakan olehnya. Makanan yang disisakan Ibrahim tuntas tak tersisa, bahkan setetes airpun tak ada. Ketika air susunya semakin sedikit Ismail menangis karena lapar. Maka berjalanlah Hajar dengan sisa-sisa tenaga nyaris merangkak untuk menaiki bukit Safa. Di atas bukit ia mencari air. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, adakah orang untuk dimintai tolong. Sepi, sunyi. Dia pun turun dari Safa berlari kecil menuju bukit di seberang, namanya Marwah. Di sana ia mendaki lagi. Dia lihat lagi. Adakah orang, adakah air, tidak ada. Kembali lagi ke Safa dan kembali lagi ke Marwah. Sampai tujuh kali dengan mengerahkan semua kemampuan yang tersisa, sisa tenaga yang masih ada.
Maka melihat usaha tersebut turunlah perintah dan pertolongan Allah. Allah perintahkan malaikat Jibril turun dan dengan sayapnya menghantam permukaan bumi tepat di bawah kaki Ismail yang sedang menangis. Bumi merekah lalu muncullah mata air memancar di sana. Hajar turun bergegas menuju Ismail, betapa bahagia menemukan air yang memancar dibawah kaki bayinya. Betapa sesuai dengan janji Allah “Bahwa orang yang bertakwa kepada Allah itu dijanjikan baginya jalan keluar dan diberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka”. Hajar bolak-balik mencari pertolongan antara Safa dan Marwa tapi pertolongan itu ternyata begitu dekat di kaki bayinya. Tidak terduga, tidak disangka, namun nyata. Hajar melihat air itu meluber mengalir ke segala penjuru maka beliau berkata “Zam.. Zam.. Zam.” yang dalam bahasa Hajar berarti “Berkumpul.. berkumpul.. berkumpul.” Kalau tidak mengatakan itu, mungkin air telur mengalir kesegala penjuru memenuhi Bakkah seperti sebuah lautan. Namun perkataan Hajar tersebut membuat air mengalir dalam satu kumpulan mata air, namun kuasa Allah air itu masih terus mengalir hingga hari ini.
Bukan hanya itu kemudian Allah mengabulkan doa nabi Ibrahim sebelumnya. Ketika sekelompok orang yang juga sama seperti Hajar berkeliling ke sana kemari mencari air akhirnya mereka menemukan Hajar dan anaknya yang memiliki begitu banyak air sehingga mereka meminta air tersebut kepada Hajar. Maka dengan ketulusan hati Hajar memberikan air tersebut sebagai bantuan kepada mereka, sekelompok orang tersebut memutuskan untuk membuat pemukiman di area tersebut dan dari sanalah terbentuknya peradaban baru di kota Bakkah atau kita kenal dengan Makkah. Saat itulah asal muasal kota Makkah. Itulah bentuk pengabulan doa Nabi Ibrahim tadi. Allah menghadirkan sekelompok orang dan membuatnya condong kepada Bakkah agar anak dan istrinya tidak lagi sendirian ditengah padang pasir. Disanalah kemudian Nabi Ismail dibesarkan.
Bahkan doa nabi Ibrahim dalam perjalanannya tadi yaitu “Ya Allah buatlah hati manusia condong kepada mereka, terpaut ke Kabbah, agar ada kehidupan disana, agar mereka tidak seorang diri.” Doa tersebut masih kita rasakan pengabulan nya sampai hari ini. Apabila kita merasa merindukan Makkah, rindu untuk mengunjungi Kabbah maka ketahuilah bahwa pada saat itu doa Nabi Ibrahim sedang diijabah oleh Allah. Itu adalah salah satu bentuk perwujudan doa nabi Ibrahim yang masih kita rasakan sampai hari ini.
Setiap kerinduan untuk umroh dalam diri umat manusia adalah jawaban atas doa nabi Ibrahim AS. Doa yang sangat powerfull, sampai kita yang tidak berhubungan secara langsung juga ikut merasakannya. Dan tahukah kalian seberapa besar pahala yang dituai oleh Hajar atas keyakinannya kepada Allah hari itu. Hingga hari ini ketika kita meminum air Zamzam, ketika kita menunaikan umroh dan melaksanakan rukun berjalan dari Safa dan Marwah, maka hingga hari ini pahala ikut mengalir kepada Hajar, begitulah janji Allah kepada hambanya yang bertaqwa kepada Allah dengan kesungguhan hati. Kepada hamba Allah yang patuh kepada suaminya.
Barakallahu fii ilmi. Saya senang sekali mendengar kisah ini, rasanya banyak sekali ilmu yang bisa kita ambil hanya dari satu potongan kisah. Tentang bagaimana tulusnya hati Sayyidah Hajar dalam menerima setiap takdirnya. Bahwa keyakinan yang utuh kepada Allah bukan hanya memberi pertolongan, namun juga memberi kehidupan yang baru dan luar biasa. Wanita salehah sepertinya bahkan dibiarkan oleh Allah melalui ujian keikhlasan yang luar biasa. Ikhlas ketika dicemburui, ikhlas ketika harus pergi, ikhlas dan patuh mengikuti suaminya meski tak tahu akan dibawa kemana. Ikhlas ketika ditinggalkan oleh bayinya yang masih merah.
Selain ketulusan dan keikhlasan, dari beliau juga kita belajar bagaimana menjadi wanita yang tangguh dan hebat. Menjadi wanita yang kuat bertahan pada musim-musim yang menyakitkan dalam hidup. Ditinggalkan sendirian di padang pasir yang tandus, kehabisan makanan dan minuman. Namun keyakinan kepada Allah tidak pernah surut. Bahkan beliau tidak manja - tidak dengan mudahnya hanya berdoa “Ya Allah tunjukkan kuasaMu”, bukan begitu cara yang beliau pilih. Beliau memilih untuk berusaha, berjalan bolak balik dari Safa dan Marwa, berusaha mencari kebaikan Allah, tidak tinggal diam menunggu pertolongan. Bahkan ketika air itu ternyata keluar dari kaki bayinya beliau juga tidak mengumpat - tidak merasa bahwa usahanya sia-sia. Sebab ia yakin dan percaya bahwa begitulah pola pertolongan yang Allah pilih untuknya. Allah ingin melihat ikhtiarnya, Allah ingin menilai usahanya. Maka Maha suci Allah yang memberi balasan kebaikan dan kemuliaan kepada beliau. Sehingga dengan kekuasaan Allah kita hingga kini masih melihat bahkan merasakan hasil dari ikhtiarnya seorang wanita dalam meyakini Tauhid nya kepada Allah. Sebagai wanita rasanya sangat bangga sekali dengan beliau sebagai panutan. Panutan atas kekuatan dan keikhlasan hatinya.
Betapa powerfull doa nabi Ibrahim. Doa yang dibalut cinta kepada istri dan anaknya. Doa yang didasari keyakinan kepada Allah Azza Wa Jalla. Bahkan dari sini kita bisa belajar bahwa mencinta itu tidak selalu dengan mendampingi. Ada kalanya kita perlu meninggalkan - berjarak dengan orang yang kita cintai, untuk menumbuhkan kekuatan dalam diri mereka, untuk mengeluarkan potensi yang terpendam didalam diri mereka. Bahwa bentuk cinta itu sangatlah banyak. Meninggalkan bukan berarti tidak cinta. Sebab ada wujud cinta lainnya yakni mendoakan. Kepedihan hati beliau meninggalkan istri dan bayinya membawa beliau pada percakapan-percakapan dengan Allah disepanjang perjalanan. Diceritakannya kepada Allah apa yang dialami oleh anak dan istrinya. Kemudian kepedihan itu menjelma dalam wujud doa. Dan atas kekuatan doa itulah kita sampai saat ini bisa merasakan betapa indahnya kerinduan untuk mengunjungi Kabbah. Semua itu berawal dari cinta dan keyakinan yang disandarkan kepada Allah.
Semoga Allah senantiasa memberi rahmatnya kepada kita semua untuk mau terus belajar dari kisah-kisah Nabi dan Rasul kita yang terdahulu. Agar mampu memetik banyak hikmah dan kebaikan dari mereka. Sungguh apapun rasa sakit yang kita rasakan saat ini pastilah pernah dicontohkan dan dikisahkan dalam kisah nabi dan rasul. Maka dengan menyimak kisah mereka semoga menjadi petunjuk kebaikan bagi kita semua dalam menghadapi setiap kemelut yang hadir dalam hidup kita. Sebagaimana telah Allah turunkan Al Qur’an dan Sunnah sebagai tuntunan dan pedoman hidup kita. Maka carilah jalan keluar itu melalu apa yang telah Allah turunkan.
*Mohon maaf apabila ada kekeliruan dalam penulisan dan penyampaian. Tulisan ini beberapa saya ambil dari buku IBRAHIM “Manusia Paling Mesra dengan Tuhannya” dan sebagian mendengar ceramah Ust Nuzul Dzikri di Youtube, kemudian saya ceritakan kembali dari memberi hikmah dari sudut pandang saya pribadi. Barakallu Fiik.
0 komentar