https://id.pinterest.com/pin/4151824651246747/ |
“Alhamdulillah. Tadi mereka datang untuk sampaikan niat baik. Yaaa Bapak bersyukur akhirnya waktunya datang juga.”
Aku diam menatap film yang masih terputar di hadapanku namun tak lagi kusimak dengan baik. Di kepalaku terputar simpul senyum bahagia wajah Bapak, dan kusutnya hatiku yang tengah bergulat. Tidak ada satu kata pun yang bisa aku lepaskan, semua tercekat di kerongkongan. Berat rasanya harus menyaksikan diri ini menghancurkan harapan dan kebahagiaannya.
Kenapa kebahagiaan yang ia semogakan justru menjadi sesuatu yang berat untuk kutunaikan.
“Pah, kenapa diterima tanpa tanya sama dia dulu? Ini pernikahan, Pah, bukan keputusan buat beli makanan. Dia perempuan, dia berhak menentukan menerima atau tidak, dia yang akan jalani hidup itu ke depannya.”
Tangisku pecah. Aku bangkit meninggalkan ruang tengah, membiarkan film tetap terputar. Tidak sanggup melihat perubahan raut wajah bahagianya menjadi mendung hitam yang suram.
* * * * *
Potongan peristiwa 10 tahun silam tiba-tiba kembali terputar dalam memoriku. Kali ini jauh lebih berat. Sebab 10 tahun berlalu, dan aku tidak juga mampu menghadirkan kebahagiaan itu di hadapannya.
“Kak, kenalan dulu saja ya. Mereka sudah menunggu sejak sebulan yang lalu. Semoga niat baiknya bisa tersampaikan.”
* * * * *
Hari ini aku sadar, ada yang lebih berat dari sekadar kata menerima atau tidak, yaitu mengetahui bahwa ini bukan hanya bagian dari hidupku, melainkan harapan terbesarnya yang lama beliau simpan.
Ya Rabb, semoga beliau tidak tahu lebih dulu. Semoga kali ini keinginan kami berjalan pada garis yang sama. Semoga kali ini tidak ada harapan yang gagal kutunaikan, dan semoga tidak menjadi luka yang sulit untuk aku sembuhkan.
Di perjalananku yang jauh, raut wajah tuanya kembali terbayang. Tuhan, izinkan aku berbakti dengan hati yang lapang dan bahagia. Di waktu yang tepat, bukan di waktu yang berat.
0 komentar