Message in a Bottle



Pernah di bukukan dalam antologi cerpen berjudul "Jarak" Oleh Spasi Media


“Gimana Nay? Kamu masih pengen bertahan?” Sepotong red velvet merasa begitu asing diantara dua gelas caramel macchiato. Hari ini aku butuh sesuatu yang manis untuk ku telan. Sebab mengingatnya sudah terlalu pahit bagiku.
“Udah Dhe, aku cape. Aku udah putuskan buat nggak nunggu dia lagi.”
“Kamu yakin nggak butuh penjelasan lagi dari dia?”
“Cukup Dhe. Sebulan sejak kejadian itu Atta nggak ada hubungin aku lagi. Buat aku, sikapnya sudah menjelaskan semuanya. Aku udah nggak mau hidup dalam kebodohan mencintai dia lagi. Ini pilihannya, dan aku harus terima.”
“Sabar ya Nay. Aku tahu gimana sakitnya jadi kamu. Aku juga masih ingat gimana pertama kali kamu ketemu Atta lagi waktu itu.”
Angin pantai berhembus lembut menerbangkan ingatanku pada hari-hari saat Atta masih disini. Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan mendekati bibir pantai, membiarkan dingin menyusup disela-sela jariku.
Kenangan bersama Atta kembali berputar-putar dikepala. Sebuah kayu yang menepi terbawa ombak berhenti tepat dihadapanku. Kuraih kayu berukuran kecil itu lalu kulempar kembali ketengah lautan. Tiba-tiba sebuah botol menghantup jari kelingkingku.
“Apaan tuh Nay?”
“Tahu nih Dhe, lucu banget. Ada suratnya loh.”
“Gila, romantis banget. Buang deh Nay, isinya kutukan tuh.” Ucap Dhea sambil tertawa mencoba menghiburku. Aku tetap memegang botol itu meski tak berpikir untuk membukanya. Kulemparkan pandangan ketengah lautan. Perlahan ingatanku kembali ke dua tahun silam, saat pertama kali aku dan Atta bertemu kembali setelah lima tahun dia lenyap bagai ditelan bumi. Malam itu, bagai sebuah bingkisan tahun baru dia hadir kembali.

*****

Malam pergantian tahun selalu menjadi malam yang ditunggu-tunggu banyak orang, seolah tidak ada yang ingin ketinggalan menghitung mundur waktu. Tapi bagiku semua biasa saja, tidak lebih dari malam-malam lainnya. Bukan karena aku tidak mensyukuri waktu yang Tuhan beri untukku, tapi karena memang tidak ada hal yang bisa aku kenang dengan baik pada pergantian malam tahun baru. Sampai pada malam itu, malam dimana Tuhan ingin aku memaknai tahun baru dengan cara yang berbeda.
“Nayya..” Saat aku tengah sibuk mencari makna tahun baru dalam diriku, suara itu datang seolah memberi makna tahun baru yang berbeda bagiku. Sejak itu, bagiku malam tahun baru adalah sebuah kesempatan yang baru, harapan baru, dan cinta baru yang pernah tertunda.
Namanya Atta, dia bukan orang baru dalam hidupku. Kamu tahu cinta monyet? Ya.. kalau cinta monyet itu memang ada, maka bagiku itu adalah Atta. Atta yang dulu tidak setampan sekarang, namun lebih manis. Dia lucu, kocak, dan menyenangkan. Dan malam itu, dia berubah menjadi sosok yang nyaris perfect. Dia jauh lebih tampan dari seorang Atta yang dulu hobi memanjat pagar sekolah. Tapi gaya sok cool dan hobi tebar pesonanya memang menjadi ciri khas Atta yang sulit ditepis.
“Sendirian aja? Sohib lo si Nesha mana?”
“Udah lama lose contact. Sejak lulus SMA kita udah jarang banget ketemu.”
“Kenapa? Ada masalah lagi? Naksir cowok yang sama lagi ya?” Tanya Atta dengan lirikan mata yang usil seolah mengingatkan kejadian lima tahun silam.
Nesha adalah sahabatku semasa SMP. Dulu Atta adalah salah satu siswa idola di sekolah, dan Nesha adalah salah satu fans fanatik Atta. Sayang sekali sebagai sahabat aku kurang peka dan tidak menyadari itu. Aku pikir Nesha sudah menceritakan segalanya padaku, ternyata tidak dengan persoalan Atta. Atta adalah hal yang dia simpan rapi didalam hatinya, sampai saat kedekatanku dengan Atta menjadi bom yang meledakkan pertahanannya. Nesha marah dan menganggap aku seorang penghianat, padahal saat itu aku dan Atta tidak lebih dari seorang teman dekat. Kemarahan Nesha yang membuat aku akhirnya memilih menjauhi Atta.
“Udah nggak usah diingat. Nesha udah nikah bukan sih?” Aku membiarkan pertanyaan itu terus menggantung, sebab saat itu otakku masih asik menari-nari pada kejadian lima tahun silam.

*****

Sekarang aku dan Atta adalah sepasang kekasih, kami merebut kembali kesempatan untuk bersama yang dulu hilang. Pertemuan ini menegaskan bahwa setiap cinta memiliki masanya. Bila tak dapat bersama pada saat itu, maka akan selalu ada kesempatan berikutrnya bagimu yang ingin menunggu. Aku memang tidak secara langsung menunggu Atta. Hanya saja, dulu aku pernah melepaskannya. Aku pernah belajar mengikhlaskan cinta masa kecilku untuk sebuah persahabatan, sebab aku tahu bahwa sebaik-baiknya cinta adalah yang tidak menyakiti siapapun. Yang tidak merebut kebahagiaan siapapun. Dan bagiku, saat itu persahabatan adalah yang utama. Kini Tuhan membawa kembali cintaku yang dulu. Tuhan memberi kesempatan kedua bagi cinta kami. Dan cinta monyet yang dulu kurasakan, kini bersemi menjadi cinta yang sesungguhnya.
Aku mencintai Atta, sangat mencintai dia. Dia adalah seseorang yang berbeda dari pria-pria yang kutemui sebelumnya. Atta melunturkan semua egoku. Semua kriteria pria yang kubangun sebagai pendamping hidupku kelak, diruntuhkan oleh sosok Atta. Dia membuatku sadar bahwa jatuh cinta itu tak butuh kriteria, ketika cinta itu datang kamu hanya bisa pasrah, merentangkan sepasang sayap dan membuka hatimu dengan bebas, lalu kamu akan terbang ketempat dimana cinta ingin membawamu.
Namun bukan cinta namanya bila tak ada ujian. Siang itu dengan berat hati aku melepaskan kepergian Atta untuk kembali ke Yogyakarta. Kembali pada rutinitas perkuliahannya, kembali pada teman-temannya yang tak kukenal, kembali menempatkan aku pada kenyataan bahwa cinta memang butuh perjuangan. Perjuangan untuk tetap percaya, perjuangan untuk bertahan, perjuangan untuk terus belajar menjadi dewasa.
“Taaaaa... janji ya jangan macem-macem disana. Kuliah aja yang bener, biar cepat selesai, terus balik deh kesini buat aku.”
“Iya Tuan Putri, nggak usah khawatir. Atta ini punya kamu, nggak akan ada yang ambil. Atta ini bakal balik lagi secepatnya buat kamu. Oke?” Senyumnya berusaha menenangkanku, sekaligus membuatku merasa rindu terlalu cepat datang, dia masih dihadapanku namun hatiku sudah siap untuk sebuah kerinduan yang panjang untuknya. Atta, seandainya kamu tahu... aku bukan nggak percaya sama kamu, tapi sama jarak. Jarak itu jahat Ta, dia bisa ngerebut kamu dari aku kapan saja.
Aku segera menepis pikiran-pikiran bodoh itu dari kepalaku, Atta masih dihadapanku, dan saat ini aku hanya ingin menikmati detik-detik bersamanya. Untuk kukenang, untuk kubuka saat rindu menyerang nanti.

*****

Bulan –bulan pertama kepergian Atta, hidupku penuh kerinduan. Namun aku bahagia, karena Atta selalu berusaha menenangkanku, begitupun aku. Jarak malah membuat aku merasa semakin menyayangi dia. Setiap pagi, handphone adalah benda pertama yang kucari saat membuka mata. Aku selalu menunggu ucapan selamat pagi darinya, atau malah menjadi weker bagi Atta. Kemanapun aku pergi pesan singkat merekam setiap langkahku. Seperti harapanku padanya, aku juga ingin Atta tenang disana dan mempercayai aku. Aku ingin dia tahu, bahwa aku disini selalu menunggunya. Bahwa sekian banyak orang disekelilingku hanya dia yang paling kumau. Dari semua orang yang berada diantara rutinitasku satupun tak ada yang mampu mengisi kosongku karenanya.
Meski jauh, Atta tetap menjadi yang kurasa paling dekat denganku. Setiap malam kami menghabiskan waktu untuk video call atau sekedar telponan. Sepanjang hari kami saling berkirim pesan dan gambar. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika kami makan di waktu yang sama di tempat yang berbeda, menatap layar handphone dan meilhat Atta seolah berada dihadapanku.
Pernah suatu kali, saat hujan turun begitu deras, Atta memaksaku untuk makan meski ditemani lilin. Disana Atta juga mematikan lampu dan menyalakan lilin. Layaknya sebuah candle light dinner kami makan di temani lilin masing-masing. Atta selalu mampu membuatku tersenyum dikejauhan memeluk rindu yang makin membukit untuknya.

*****

Bulan –bulan pertama LDRan kami, semua berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari sebuah pesan masuk ke handphoneku, tapi bukan Atta. Namanya Rendra, mungkin Rendra adalah utusan dari dewa kesedihan. Pesan pertamanya bukan hanya meruntuhkan pertahananku, tapi juga kepercayaanku pada Atta. Rendra mengklaim Atta sebagai perusak hubungannya dengan kekasihnya. Anehnya rendra membiarkan itu terjadi.  
Kukumpulkan semua kekuatanku untuk mencari tahu tentang Meysa. Aku mendadak menjadi seorang penguntit yang menstalking hampir semua akun sosmed milik Meysa. Ternyata Meysa adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri yang berbeda dengan Atta. Mereka kenal saat program KKN yang dijalani Atta satu daerah dengan Meysa. Dari hasil pencarianku terkait Meysa, seorang teman mengatakan bahwa disana Atta cukup dikenal orang. Atta adalah salah seorang aktifis kampus yang aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus. Tidak sedikit wanita yang ingin dekat dengan Atta. Wanita lain yang aku ketahui dekat dengan Atta adalah Dera sahabatnya. Atta tak pernah memperkenalkan aku dengan Dera, bahkan tidak pernah bercerita sedikitpun tentangnya.
Setelah yakin memiliki banyak informasi terkait Meysa akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepada Atta. Namun apa yang kudapatkan? BOHONG. Yaaa, pertanyaan pertama terkait status dan usia Meysa dijawab dengan kebohongan oleh Atta. Atta mengkonfirmasi bahwa Meysa hanya siswi SMA yang masih labil. Rusak sudah percayaku, runtuh sudah pertahananku. Jawaban pertama Atta telah menunjukkan bahwa dia tidak sejujur Atta yang aku harapkan selama ini. Aku tiba-tiba merasa tidak mengenal baik kekasihku.
Hari demi hari kulalui dengan pertengkaran, aku tak lagi merasakan ketenangan seperti dulu. Terlebih masa KKN Atta di pelosok daerah membuatnya harus kehilangan signal dan membuat komunikasi kami semakin berjarak. Kuputuskan untuk berhenti sejenak, kami butuh jeda. Untuk sekedar memahami makna di masing-masing hati.

*****

Satu bulan berjalan begitu lambat bagiku. Hari-hariku dipenuhi kekosongan, aku terus bertanya-tanya perihal Meysa. Mengapa Atta harus berbohong, mengapa inbox di akunnya harus dihapus. Apa yang coba Atta tutupi dari aku. Aku terus mengutuki diriku yang bodoh, yang selama ini begitu percaya padanya. Aku pikir aku tahu hampir semua kegiatan Atta sebab hampir setiap jam kami berkabar. Ternyata aku salah, karena ada hal menyakitkan yang ia sembunyikan dariku. 

Di tengah rasa sakit itu, entah mengapa aku masih saja merindukan sosok Atta. Aku mengutuki waktu, mengutuki jarak, mengutuk semua hal yang kini menjauhkan aku darinya. Atta, andai kamu tahu betapa sayangnya aku ke kamu. Andai kamu tahu betapa berartinya hubungan ini untuk aku. Untukmu aku rela menjadi wanita yang sabar menanti diantara begitu banyak hati yang menginginkanku. Aku menepis semua perhatian dari pria-pria yang berusaha mendekat hanya untuk kamu. Tapi apa yang aku dapatkan? Luka.

*****

Malam menggantung banyak bintang di langit, aku tersudut dalam perasaan sepi sendirian. Satu bulan berlalu dan tak ada yang berubah, aku masih merindukannya. Malam ini aku membiarkan diriku terbenam dalam kesendirian. Aku mendatangi sebuah pantai tempat aku dan Atta pernah menghabiskan waktu bersama. Sekali waktu, datanglah mengunjungi pantai. Ombak yang bergulung akan mengajarkanmu ada hal-hal dalam hidup ini yang berkeras apapun kau kejar tak akan pernah kau miliki. 

Sebuah lagu membuyarkan lamunanku, handphoneku berbunyi dan kuraih dengan enggan. Aku sungguh tak ingin di ganggu. 

Tiba-tiba jantungku berdetak kacau tak karuan. “Atta” 

“Halo.. Naya.”
“Halo.. iya Ta.”
“Nay, aku kangen.”

Jantungku berdetak lebih kencang. Dadaku sesak, nafasku tertahan, bibirku bungkam. Sebening ketulusan mengalir di pipiku, dan hatiku menjawabnya dengan lantang apa yang menyesak dikerongkongan “Ta.. aku juga kangen. Kangen Banget Ta.”

*****

Setiap manusia berhak atas kesempatan kedua. Aku berusaha untuk kembali percaya pada Atta. Aku kembali menjalani hubungan dengannya. Berusaha menutup semua kesakitan yang pernah kurasa. Entah aku yang bodoh, atau Atta yang terlalu berarti bagiku. Aku hanya tak ingin kehilangan Atta sekali lagi, itulah kalimat yang terus menguatkan aku.

Namun layaknya cermin yang pernah pecah, merangkainya kembali adalah perkara yang nyaris tak mungkin. Mungkin dia akan kembali utuh, namun ada bagian-bagian yang hilang, bagian yang pada akhirnya hanya menciptakan ruang, menciptakan jarak yang semakin jauh antara aku dan Atta.

Bukan hanya padaku, namun nampaknya Atta juga mulai sering mencurigai aku. Entah darimana Atta selalu tahu detail rutinitasku bahkan yang tidak kusampaikan padanya. Sepertinya ada seseorang disekilingku yang menjadi mata-mata bagi Atta. Sebenarnya itu tidak harus menjadi masalah, sebab aku yakin akan kesetiaanku padanya. Namun ada sisi lain dalam hatiku yang merasa tak nyaman, gerak gerikku seolah di awasi. Dan ini yang akhirnya membuatku memutuskan hal yang sama, memilih seseorang yang menjadi mata-mata bagiku untuk Atta. 

Naasnya, belum melakukan apapun aku sudah gagal. Atta membaca pesanku dengan salah satu sahabat di Jogja. Atta marah besar, ia merasa aku tak mempercayainya. Berulang kali aku memberi penjelasan namun tak berguna sedikitpun. Dia merasa harga dirinya dicoreng. Dia merasa aku sudah tidak percaya padanya. Bagiku ini sungguh tidak adil, mengapa Atta bisa melakukannya tapi aku tidak. Dia memang lebih lihai dalam hal ini, tapi bukan berarti dia benar. Aku terus mencoba memberi penjelasan, namun Atta menolak bicara padaku. 

Akhirnya kuberanikan diri menghubungi Dera sahabatnya. Dari instagram story milik Dera aku tahu bahwa mereka sedang berasama. Sejujurnya hal ini menimbulkan kecemburuan lain dalam diriku. Aku merasa begitu malang, disaat seperti ini, disaat aku sangat butuh kamu untuk menguatkan. Kamu malah bersama wanita lain, tak peduli apa makna wanita itu bagimu. Dia menempati posisi terdekat denganmu saat ini, dan itu menyakitkan. Tapi aku berusaha menahan semuanya. Aku merendahkan hatiku untuk tetap menghubungi Atta melalui Dera. Aku berusaha mengesampingkan lagi cemburuku untuk sebuah penjelasan. Atta andai kamu bisa sedikit saja mengerti betapa berartinya hubungan ini untukku. Betapa sakitnya disini menjadi aku yang begitu mencintai kamu. 

Setelah meruntuhkan egoku, berusaha bijak memahami posisimu, apa yang aku dapatkan? Kalimat paling menyakitkan yang dilontarkan Atta malam itu. 

“Nayya, cukup. Jangan permalukan aku didepan sahabat-sahabatku. Di depan teman-temanku. Kamu tahu? Aku sudah pusing dengan segala yang terjadi di hidupku, please jangan kamu tambah lagi dengan sikapmu yang kekanak-kanakan.”

Hancur sudah hatiku, sedikitpun aku tak memiliki makna lagi di hatinya. Aku tak tahu Atta akan setega ini padaku. Aku tidak menyangka kalimat sesakit itu akan keluar dari mulut seorang yang paling aku sayangi. Atta benar-benar sudah berubah. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan dari hubungan ini. Mimpiku untuk menjadikannya yang terakhir pupus sudah. Aku menelan mentah-mentah kalimat terakhir Atta sebagai sebuah penegasan. Bahwa Atta kecilku dulu bukan lagi Atta yang kukenal saat ini. Dia sudah berubah.

*****

“Ta.. nih minum dulu. Udara di puncak dingin banget. Lo harus minum wedang jahe ini biar anget. Yaaa... walaupun gue tahu hati lo jauh lebih panas dari wedang ini.”

“Apaan sih lo Ra.”

Atta menerima segelas wedang jahe dari Dera sahabatnya. Pikirannya masih melanglang jauh ke kota seberang. Bayangan Nayya terus menghantui kepalanya. 

“Kenapa sih lo gak jawab aja telp cewek lo? Gue yang jadi nggak enak Ta sama dia. Ntar di kira gue ada apa-apa lagi sama lo.”

“Nggak apa-apa Ra. Biarin aja. Saat ini itu yang terbaik.”

“Kenapa sih Ta lo nggak jelasin aja semuanya ke Nayya? Biar dia lega. Biar dia nggak harus berpikir macam-macam.”

“Sulit Ra. Dia udah terlanjur nggak percaya sama gue gara-gara gue bohong soal Mesya. Padahal gue ngomong gitu buat tenangin dia. Biar dia nggak mikir macam-macam. Karena gue tahu banget cewek tuh gimana, kalau gue jujur dia akansemakin curiga dan tetap cemburu.”

“Terus soal Rendra. Kenapa lo biarin dia fitnah lo kayagitu? Sebel banget gue sama dia. Kalau dia marah karena gagal jadi ketua BEM akibat lo nggak mau calonin diri jadi wakilnya, ya jangan bawa ke masalah pribadi dong sampe ngerusak hubungan orang.”

“Kita nggak bisa mengendalikan orang lain Ra. Kita liat aja, suatu hari juga di bakal ngerasain balasan dari apa yang dia lakuin ke gue, meski bukan secara langsung dari gue, tapi dia pasti dapetin karmanya.”

“Terus hubungan lo sama Nayya gimana?”

“Lo tahu kan Ra gue sayang banget sama dia. Gue seneng banget waktu ketemu dia lagi. Gue pikir itu benar-benar kesempatan emas buat gue jalanin hubungan yang baik sama dia setelah lima tahun gue nungguin dia. Tapi ternyata gue salah, sepertinya ini belum waktunya. Masih ada rintangan yang berat banget yaitu jarak. Nayya benar, jarak itu jahat.” 

Atta memainkan potongan kayu bakar di tengah tumpukan bara api. Dingin yang menusuk di tulang seakan kalah dengan dinginnya rindu yang mendekap hatinya pada Nayya. Di benaknya hanya ada Nayya, mesti entah mengapa jarak seakan menjadi monster yang sangat menakutkan. Dia bukan tidak percaya pada Nayya sehingga harus memata-matainya. Perasaan takut kehilanganlah yang membuatnya harus melakukan itu. Dia bukan tidak percaya pada Nayya, melainkan tidak percaya pada jarak yang memisahkan mereka. Atta percaya pada Nayya, namun dia tidak percaya pada orang-orang yang berada disekeliling Nayya, siapapun bisa kapan saja merebut perhatiannya, merebut Nayya dari pelukannya. Ketakutan itulah yang akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

“Mungkin saat ini belum waktunya Ra buat gue ngejalanin hubungan sama Nayya. Saat ini gue masih banyak banget tanggung jawab yang harus gue selesaikan. Kuliah gue juga nggak rampung-rampung karena kecelakaan kemarin. Dan sekarang, buat nyelesaikan kuliah ini aja gue bingung mesti gimana. Kondisi gue yang sekarang nggak memungkinkan untuk ambil tanggung jawab yang lebih berat lagi. Gue cuma berharap, gue segera sembuh dan kembali kuliah.”

Dera menatap iba pada Atta, sebagai sahabat tidak ada yang bisa ia lakukan selain mendoakan dan memotivasi. 

“Yaudah.. ini ada kertas dan bolpoin. Sekarang, biar lo lebih lega lo tulis semua yang pengen lo sampein ke Nayya. Lo lipat surat itu kedalam botol ini dan biarkan dia mengalir bersama air laut besok pagi. Kalaupun bukan Nayya yang menerima surat ini, gue yakin semesta akan menjelaskan pada Nayya apa yang memang harus dia ketahui.”

Atta tersenyum sembari mengambil pulpen dan kertas dari tangan sahabatnya. Dia tahu ini kedengaran sedikit bodoh, namun dia percaya bahwa apa yang di katakan Dera benar. Semesta selalu punya cara untuk menjelaskan hal-hal yang tersembunyi. Dan selain itu, setidaknya tulisan ini akan membuat perasaannya saat ini lebih lega.

Pada pemilik senyum terindah, Nayya.

Entah dengan apa aku harus menjelaskan keindahanmu. Pemilik senyum terindah, wanita berhati malaikat. 

Kamu datang dalam hidupku saat aku masih mengeja makna cinta, saat bermain bola menjadi hal yang paling menarik untuk di pertaruhkan. 

Aku pernah menunggumu begitu lama, aku pernah mencintaimu dengan sabar. Maaf bila aku bukanlah orang yang pandai mengungkapkan betapa berartinya kamu bagiku. 

Semesta pernah membawamu pergi jauh dariku, lalu semesta pula yang pada akhirnya mengembalikanmu. Bila hari ini semesta menginginkan kau kembali jauh, maka maaffkan aku. Sebab saat ini aku tak punya cukup daya untuk menahanmu. 

Seperti halnya dulu. Aku tidak akan memintamu menunggu. Aku akan membebaskanmu menentukan langkahmu. Tapi aku berjanji, semesta takkan mempermainkan kita lagi. Kelak bila langit menghendaki, mengembalikanmu sekali lagi. Takkan kubiarkan semesta merebutmu lagi. 

Atta.

Angin berhembus kencang, hawa November seakan menusuk di tulang. Dera kembali dari dalam setelah membereskan bekas minuman dan camilan di meja. Sebuah surat sudah terlipat rapi untuk di lemparkan ke pantai besok pagi. Bulan semakin jauh dari tempatnya datang, suara jangkrik bersautan seiring letupan bara di perapian.

“Sudah malam, ayo Ta aku bantu ke dalam. Botolnya di bawa aja. Besok pagi-pagi kita ke pantai.”

Atta tersenyum mengiyakan. Angin berhembus kencang mengusik nada dedaunan yang saling bergesekan. Kedua tangannya sibuk mengatur kursi roda. Dera membantunya menguasai handle kursi, menahan bagian handlenya sambil memutar roda ke kanan, lalu perlahan menuntun Atta memasuki rumah peristirahatan. Mang Ujang dan beberapa teman yang berangkat bersama dari Jogja sudah pulas di kamar masing-masing. Malam ini November membungkus kota dengan dingin yang mencekam, namun ada yang lebih dingin di hati Atta, kerinduan yang terus menerus menyebut nama Nayya di kepalanya.
---- END ----

Biodata Penulis
PLUVILYU - ROSNA.jpeg

PLUVILYU
Gadis kelahiran Makassar 23 Mey 1988 yang bernama asli Rosna, seorang accounting di perusahaan swasta yang baru mencoba untuk fokus ke dunia kepenulisan setelah sekian lama tertunda. Seorang Gemini yang begitu mencintai hujan, menyukai langit dan pantai. Baginya menulis adalah kebutuhan. Membaca dan menulis adalah sebuah jiwa dan raga yang tak bisa dipisahkan. Dengan menulis aku ‘ada”. Dengan menulis saya merasa memiliki dunia dan kebebasan saya sendiri. Untuk teman-teman yang ingin berkenalan langsung dapat menghubungi saya melalui akun-akun berikut ini :
instagram ; @rose.pluvi
wattpad : @Pluvi_Lyu
tumblr : pluvilyu.tumblr.com/


0 komentar