Pict from : https://id.pinterest.com/pin/754282637578127598/
Pernah di Bukukan dalam antologi cerpen berjudul "Lubang Klandestin" oleh Team Literasi Media Berkarya
“Loe
jadi berangkat Jo?”
“Iya
Cind, ayah sudah beli tiketnya kemarin.
Lagian loe tahu kan ini cita-cita masa kecil gue. Gue pengen belajar musik dengan
lebih baik. Gue pengen ngembangin bakat gue. Dan New York punya apa yang gue
cari.”
“Jadi
loe bakal ninggalin gue begitu aja.”
“Ayolah
Cind, loe tahu kan gue juga berat pisah sama loe. Tapiii…”
“Ahahaha
serius amat sih loe, iya iya Jooo gue cuma becanda kali. Gue ini sahabat loe,
dan gue juga pengen yang terbaik buat masa depan loe. Ganbatte!”
“Oke.
Thanks ya Cind, Gue doain loe juga bisa segera terkenal kaya Tereliye atau
Illiana Tan. Bukan Cuma jadi penulis diary doank. Mimpi loe harus gede Cind,
jangan pipi doank di gedein.”
Ucapnya
dengan wajah mengejek sambil mengacak-acak rambutku tanpa melihat lirikan
mataku yang sudah berubah menjadi harimau yang siap menerkamnya.
Suara
Charlie Puth mengalun lagu If You Leave
Me Now, liriknya seolah mengisi kosong di ruang hatiku seolah memahami
bahwa ada yang seketika hilang disana saat aku tahu Jovand akan pergi dalam
waktu yang lama. Jovand adalah sahabatku sejak di bangku SMA. Dia pria yang
membuatku merasa tak punya pacar itu sah-sah saja. Selama ada Jovand aku tidak
akan pernah kekurangan perhatian. Aku tidak akan pernah merasa kurang kasih sayang.
Jovand selalu ada untukku, untuk semua keluh kesahku, untuk semua kegilaan dan
kemanjaanku. Lima tahun bagiku seperti seumur hidup bersahabat dengannya. Dia
pria terbaik setelah ayah. Dia pria yang tahu bagaimana bersikap baik pada
wanita, bagaimana menghormati wanita. Sikap yang sudak teramat langka di jaman now.
------
Malam
menggantung banyak bintang di langit, bersinar membentuk gugusan yang indah.
Aku ingat malam itu, malam dimana aku dan Jovand pertama kali bertemu. Saat itu
adalah malam ramah tamah. Kami para mahasiswa baru berkumpul membentuk kelompok
dan mendirikan kemah. Saat itu aku terlambat datang karena ban motor papa
kempes. Setiba di tempat kemah tak ada satupun yang ingin menerima aku di
kelompoknya karena takut mendapat hukuman dari kakak-kakak OSIS. Namun Jovand
mendekatiku menawarkan untuk bergabung, meski sebagian teman-temannya mulai
menggerutu namun dengan tenang Jovand berusaha meyakinkan. Akhirnya kelompok
kami malah di nobatkan sebagai group paling solid dan heboh.
Tapi
bukan hanya malam itu yang membuat aku kembali terkenang pada Jovand, melainkan
satu malam dimana dia menjadi peredam luka di hatiku. Malam itu aku sangat
sedih, malam itu mama pergi meninggalkan papa. Saat itu adalah salah satu
bagian tersulit dalam hidupku. Wanita yang paling aku cintai menyakiti hati
pria yang paling aku banggakan dalam hidupku. Keluarga utuh dan harmonis yang
selama ini tampak dimataku seketika menjadi sebuah lukisan kepedihan yang
mencabik-cabik jantungku. Malam itu Jovand tidak hanya menyediakan bahu, tapi
sebuah hati yang tulus untukku menumpahkan semua airmataku.
“Sabar
ya Cind. Gue tahu apa yang loe hadapi saat ini sangat sulit. Tapi loe udah
dewasa, loe harus bisa berfikir lebih bijak.”
“Tapi
gue nggak ngerti Jo, Gue nggak bisa nerima bergitu aja apa yang mama lakuin ke
papa.”
“Setidaknya
mama loe nggak khianatin papa Loe Cind. Mama Cuma berusaha buat jujur, jujur
tentang apa yang selama ini dia rasakan. Jujur tentang apa yang selama ini
berusaha beliau sembunyikan. Meski kejujuran itu ternyata begitu menyakitkan
buat loe dan bokap. Tapi loe juga harus berusaha buat memahami posisi beliau.”
“Tapi
kenapa baru sekarang Jo? Kenapa baru sekarang mama bilang kalau mama nggak
pernah benar-benar mencintai papa? Kalau mama bisa hidup selama tujuh belas
tahun mendampingi papa sebagai istrinya, kenapa setelah bertahun-tahun baru
sekarang mama bilang kalau semua itu nggak sepenuh hatinya?”
“Seperti
halnya hujan, hati punya caranya sendiri untuk jatuh Cind. Itu di luar kendali
kita. Kenapa? Karena hati kita bukan seutuhnya milik kita. Tapi milik Allah,
Tuhan yang Maha membolak-bolakkan hati. Loe bayangin Cind, selama ini nyokap loe
bertahan hidup dengan pria yang tidak dia cintai. Hidup sebagai istri yang
berbakti, melayani semua kebutuhan bokap dan loe. Melakukan semuanya hanya
sebagai bentuk kepatuhannya sebagai seorang istri. Sebagai seorang yang
menganggap bahwa menikah itu adalah ibadah. Tapi disisi lain, nyokap loe punya
hati, nyokap loe nggak bisa terus hidup dan membohongi perasaannya sendiri. Dan
apa yang nyokap lalui selama ini udah cukup berat buat dia Cind.”
Aku
masih terus menangis menutup wajahku dengan kedua belah tangan. Terisak mencoba
memahami apa yang di sampaikan Jovand. Jovand menarik kepalaku bersandar di
bahunya dan mengelus rambutku.
“Cind,
Kita nggak akan pernah tahu kapan kita jatuh cinta dan dengan siapa, begitu
juga kita nggak akan bisa mengatur hati kita untuk siapa. Kita memang bisa
belajar untuk mencintai, tapi kita nggak punya jaminan apapun apakah itu akan
berhasil atau nggak. Loe yang paling kenal sama nyokap, gue aja yang bukan anaknya
tahu seberapa lembut hati nyokap loe. Nyokap Loe itu wanita yang nyakitin
nyamuk aja nggak sanggup Cind. Loe tahu kan? Jadi gue minta, jangan karena
pilihannya untuk jujur membuat persepsi Loe terhadap nyokap berubah. Loe berdoa
aja semoga Tuhan mengirim keajaiban, dan membalikkan hati nyokap kehati bokap
Loe. Loe berdoa ya.”
Malam
itu aku mungkin kehilangan seorang mama, tapi aku menemukan sosok kakak dalam
diri Jovand. Dia adalah pria dengan pemikiran yang bijak. Jovand paling tahu cara menenangkanku,
mengajarku melihat kehidupan dengan sudut pandang yang berbeda. Menatap
kehidupan dengan hati yang luas dan penuh penerimaan. Sejak itu aku tak pernah
bisa membayangkan bagaimana seorang Cindy tanpa Jovand. Dia sahabatku, dia
kakakku yang bisa seketika berubah menjadi adikku. Dia adalah guru yang
mengajarkan banyak hal, dan dia adalah seorang anak kecil yang lucu yang tahu
kapan dunia ingin melihat kita menertawakan kehidupan. Dengannya hidup terasa
lebih ringan, sebab segala luka memiliki penerimaan. Sebab setiap pilihan
memiliki hal terbaik untuk dinikmati, daripada harus tenggelam meratapi sedih
yang mengikis habis kekuatan.
-----
“Cind,
loe jadi ngantar Gue ke bandara?”
“Jadi
donk. Gue bakal nganter loe sampai pesawat loe datang.”
“Non…
yang bisa nganter gue sampai pesawat datang tuh orang-orang yang punya tiket
dan masuk gate. Kalo loe mah paling
sampai pintu masuk gate doank atau
samapai parkiran.”
“Yeeee
siapa bilang? Gue punya tiket. Nih liat nih, tiket loe kan ke Jakarta. Tiket
gue ke Surabaya.”
“Lho
lho… bentar. Loe juga berangkat besok? Ngapain Loe ke Surabaya? Kok Loe baru
cerita ada rencana kesana?”
“Emmm…
iya ini mendadak, gue harus gantiin bos gue buat hadirin meeting. Gue juga baru
tahu tadi.”
“Waaahhh
pas banget nih. Pesawat Loe berangkat lima belas menit setelah penerbangan gue.
Jadi loe juga nggak kelamaan nunggu. Dan loe juga bisa nganter gue sampai
pesawat gue datang. Ya nggak?”
Kami
bersamaan melambungkan jemari ke udara melakukan high five
-----
Gerimis
jatuh perlahan, meninggalkan jejak pada roda kendaraan yang membawaku dan
Jovand menuju ke Bandara. Charlie puth
kembali mengiringi perjalanan kami, entah mengapa belakangan ini lagu If You Leave Me Know seolah menjadi backsound hidupku yang aku putar
dimana-mana. Seperti halnya puisi, musik adalah media yang paling memahami apa
yang kamu rasakan. Bila kamu tak cukup kata untuk mengungkapkan maka
ungkapkanlah lewat lagu. Lagu seperti mata air bagi hati yang tak tahu harus
mengucapkan apa.
Mobil
terus melaju membelah hujan, setelah ini jarak dan rindulah yang akan memainkan
peran utama. Aku tidak bisa membayangkan betapa hampanya hari-hariku
berikutnya. Betapa hidup kembali sepi. Tidak tahu kah Jovand bahwa kepergiannya
akan membawa seluruh tawa renyahku. Tidak akan ada yang sebaik dia dalam
meciptakan harmoni. Di hatiku, dia adalah yang terbaik setelah papa. Dia adalah buku yang paling ingin kubaca
tanpa mengenal kata tamat. Di hatiku dia adalah lagu yang ingin selalu
kunyanyikan mengikuti debar di jantungku.
-----
Setelah
menerima boarding pass kami segera
memasuki gate. Aku mendapat gate 3
dan Jovand gate 5 namun kami
memutuskan untuk menunggu di gate 4, agar kami masih bisa menghabiskan waktu
bersama sambil menunggu pesawat yang akan membawa masing-masing kami pergi
meninggalkan kota yang mempertemukan kami, Balikpapan.
Kami
mengambil beberapa gambar dan video, tertawa dan menertawakan diri sendiri. Sesekali
nyinyir membicarakan satu dua
penumpang berkelakuan aneh, tanpa menyadari bahwa mungkin kamilah yang paling
aneh disana. Tertawa lepas tanpa beban, lupa sedang berada di tempat umum.
Dimanapun asal bersama Jovand akan menjadi taman bermain bagiku. Kami selalu
punya cara untuk membunuh sepi, memecah suasana. Apapun itu tak peduli, asal
kami bisa terus tertawa dan berbagi bahagia. Meski sesekali aku kembali terdiam
tiap kali sebuah pesawat datang dan mendarat. Aku selalu mengira itu adalah
pesawat yang akan pergi membawa Jovand. Beberapa kali terdiam dan Jovand
kembali menyadarkanku dengan celetukan usilnya. Sampai akhirnya suara yang tak
ku inginkan itu benar-benar menggema. Announchement
penerbangan Jovand mulai menggema. Suara yang terdengar sangat tidak bersahabat
di telingaku. Suara yang memecah kebahagiaanku. Suara yang membuat lubang besar
di dalam hatiku. Aku menatap Jovand dalam. Dia tersenyum, dia tahu apa yang aku
rasakan. Dia orang yang paling memahami kesedihanku. Padanya aku tidak pernah bisa
menyembunyikan kesedihan dan kepedihanku. Dia yang paling pandai membaca mata
dan senyumku.
“Cind,
gue pamit. Loe baik-baik ya. Jaga kesehatan. Enjoy your life. Kejar mimpi loe. Nikmati pekerjaan loe.”
Aku
hanya tersenyum penuh sesak tak dapat mengucapkan banyak hal.
“I’ll miss you so badly.”
Ucapku
sembari menjatuhkan kepala dalam pelukan Jovand. Aku memeluknya erat, erat
tanpa celah. Jovand membalas pelukan itu dan membelai rambutku seperti yang
biasa ia lakukan saat menenangkanku.
“Loe
bawa buku ini deh Cind. Buat kenang-kenangan.”
Aku
mengangguk dan menerima sebuah novel yang baru saja dikeluarkan Jovand dari
ranselnya. Setelah itu Ia mulai berbalik arah, pergi.
Aku
terus menatap punggungnya. Dia masih disana, pada barisan orang-orang yang akan
meninggalkan. Menjadi salah satu dari luka yang tercipta di bandara. Bandara
selalu menyisakan cerita, menyisakan kesedihan, menyaksikan perpisahan,
menyaksikan kepergian. Setelah ini, segalanya takkan lagi sama. Meski mungkin
kami masih bisa berkomunikasi, namun segalanya tak akan lagi sama. Jovand akan
sibuk dengan kehidupannya, sibuk dengan rencana-rencannya mengejar mimpi. Dan
aku akan sibuk merindukannya, sibuk menghitung hari, sibuk menanti dia kembali.
Aku
terus menatapnya sampai punggungnya benar-benar hilang dari pandangan mataku.
Sampai petugas kembali duduk setelah semua penumpang dipastikan telah melewati
pintu gate.
Perhatian, para penumpang
pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA328 tujuan Surabaya
dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu Gate 3.
Announcement
penerbangan menuju Surabaya telat terdengar. Aku membalikkan badan, merobek
boarding pass, dan beranjak keluar meninggalkan gate.
Aku
ikut ke bandara mengantar kamu pergi. Aku membeli tiket paling murah saja hari
ini, penerbangan kemanapun tak mengapa. Aku hanya ingin punya tiket masuk ke
gate, menemanimu sampai pesawat yang akan membawamu pergi tiba. Aku hanya ingin
lebih lama lagi bersamamu. Hingga aku menjadi orang terakhir yang mengantar
kepergianmu. Menjadi orang yang paling berat melepaskanmu. Menjadi yang selalu
berusaha menemanimu meski tak bisa.
Aku
berjalan keluar meninggalkan bandara. Sambil memesan kendaraan online untuk
pulang kembali ke rumah. Rumah yang selama ini menjadi salah satu markas kita.
Setelah ini hanya akan ada jarak yang terus menertawakan lukaku, dan rindu yang
menggedor-gedor pertahananku. Setelah ini segalanya takkan lagi sama Jo. Kamu
memang masih ada, aku yakin kau akan selalu ada untukku. Namun tak berada
disampingmu akan sangat menyiksaku. Harusnya aku bahagia, sebab kini aku tak
perlu lagi menampilkan senyum kikuk dihadapanmu. Tak perlu lagi merasa takut,
takut kalau-kalau kamu bisa mendengar debar jantungku tiap kali berada
disampingmu. Takut kau menangkap sepasang mataku yang terus mengawasi gerak
gerikmu. Takut memberi perhatian yang akan menjelaskan perasaanku yang
sesungguhnya padamu.
Maafkan
aku Jo, yang sudah melihatmu dengan tatapan yang berbeda. Maafkan aku yang
diam-diam menumbuhkan rasa yang berbeda padamu. Semetara aku tak pernah pandai
menilai apakah aku selama ini telah cukup pandai memainkan peran dihadapanmu.
Apakah aku memang benar-benar berhasil menyembunyikan perasaan ini darimu.
Percayalah,
aku tidak bermaksud merusak rasa nyaman yang sudah ada diantara kita. Seperti
yang dulu kau katakan, hati kita punya caranya sendiri untuk jatuh. Seperti
itulah aku jatuh, aku hanya mengikuti takdirku untuk jatuh. Seperti hujan pada
bumi, matahari pada senja, dan aku padamu. Maka maafkan aku untuk perasaan ini.
Mobil
yang ku pesan sudah tiba. Aku masuk dan menjatuhkan punggung pada sandaran
mobil. Menatap kembali pintu gerbang bandara. Mengulang kembali kepergianmu di
kepala. Berusaha menenangkan hatiku lagi dari kesedihan. Setelah ini hanya
rindu yang akan menari diantara angin yang kian bising.
“Sudah
siap nenk? Atau masih ada yang di tunggu?”
“Oh
iya Pak, sudah boleh jalan.”
Supir
taksi membuyarkan lamunanku. Kugeser tatapan mataku ke depan. Lalu mengambil
novel yang tadi kau berikan. Ku baca judul novel itu, tiba2 sehelai amplop terjatuh.
Aku mencoba meraihnya dari lantai kendaraan. Sebuah amplop berwarna biru muda
dengan tinta biru “Dear My Sunshine, Cindy”
“Pada Senyummu yang Ku Kira Sunshine.”
Aku
tidak pandai menulis puisi, atau merangkai kata-kata. Tapi hari ini entah apa
membuatku sangat ingin menulis untukmu. Untuk menenangkan gundahmu, atau lebih
tepatnya untuk menguatkan hatiku sendiri.
Kamu
; seseorang yang datang dengan kelembutan. Senyummu adalah matahari pagi
bagiku. Begitu hangat dan renyah. Kamu wanita yang paling menganggap aku ada.
Tak pernah ada seorangpun yang pernah menatapku seperti caramu melakukannya.
Dan tatapan itu memiliki debar yang tak pernah bisa ku maknai di dalam dadaku.
Sungguh
aku tak pernah ingin pergi. Tak pernah ingin jauh. Meski dekatmu menciptakan
begitu banyak debar yang tak ku mengerti. Namun di sampingmu, tempat ternyaman
selain pelukan.
Maafkan
aku, maafkan aku yang terlalu pengecut untuk mengatakannya secara langsung.
Maafkan aku yang tak pernah tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakan ini.
Maafkan aku yang akhirnya memilih pergi untuk bersembunyi dari perasaanku
sendiri. Aku hanya terlalu takut merubah rasa nyaman yang selama ini sudah kita
bentuk bersama. Aku terlalu takut untuk mengatakan bahwa di mataku kau bukanlah
sekedar sahabat. Kau lebih dari apa yang selama ini mampu untuk ku jelaskan
dengan kata-kata.
Terserah
akan di sebut apa perasaan ini. Yang aku tahu, aku menyayangimu dengan sangat.
Dan
aku tak punya cukup nyali untuk mengatakannya.
Aku
pergi. Tapi tidak untuk selamanya. Suatu hari nanti aku akan kembali.
Mempertanyakan kembali perasaanku. Bisakah, aku mendapat hati yang lebih dari
sekedar ini?
-
J.
Biodata
Penulis
PLUVILYU
Gadis
kelahiran Makassar 23 Mey 1988 yang bernama asli Rosna, seorang accounting di
perusahaan swasta yang baru mencoba untuk fokus ke dunia kepenulisan setelah
sekian lama tertunda. Seorang Gemini yang begitu mencintai hujan, menyukai
langit dan pantai. Baginya menulis adalah kebutuhan. Membaca dan menulis adalah
sebuah jiwa dan raga yang tak bisa dipisahkan. Dengan menulis aku ‘ada”. Dengan
menulis saya merasa memiliki dunia dan kebebasan saya sendiri. Untuk
teman-teman yang ingin berkenalan langsung dapat menghubungi saya melalui akun-akun
berikut ini :
instagram ; @rose.pluvi
wattpad
: @Pluvi_Lyu
tumblr
: pluvilyu.tumblr.com/
0 komentar