Pada Senyummu yang Kukira Sunshine



Pernah di Bukukan dalam antologi cerpen berjudul "Lubang Klandestin" oleh Team Literasi Media Berkarya

“Loe jadi berangkat Jo?”
“Iya Cind,  ayah sudah beli tiketnya kemarin. Lagian loe tahu kan ini cita-cita masa kecil gue. Gue pengen belajar musik dengan lebih baik. Gue pengen ngembangin bakat gue. Dan New York punya apa yang gue cari.”
“Jadi loe bakal ninggalin gue begitu aja.”
“Ayolah Cind, loe tahu kan gue juga berat pisah sama loe. Tapiii…”
“Ahahaha serius amat sih loe, iya iya Jooo gue cuma becanda kali. Gue ini sahabat loe, dan gue juga pengen yang terbaik buat masa depan loe. Ganbatte!”
“Oke. Thanks ya Cind, Gue doain loe juga bisa segera terkenal kaya Tereliye atau Illiana Tan. Bukan Cuma jadi penulis diary doank. Mimpi loe harus gede Cind, jangan pipi doank di gedein.”
Ucapnya dengan wajah mengejek sambil mengacak-acak rambutku tanpa melihat lirikan mataku yang sudah berubah menjadi harimau yang siap menerkamnya.
Suara Charlie Puth mengalun lagu If You Leave Me Now, liriknya seolah mengisi kosong di ruang hatiku seolah memahami bahwa ada yang seketika hilang disana saat aku tahu Jovand akan pergi dalam waktu yang lama. Jovand adalah sahabatku sejak di bangku SMA. Dia pria yang membuatku merasa tak punya pacar itu sah-sah saja. Selama ada Jovand aku tidak akan pernah kekurangan perhatian. Aku tidak akan pernah merasa kurang kasih sayang. Jovand selalu ada untukku, untuk semua keluh kesahku, untuk semua kegilaan dan kemanjaanku. Lima tahun bagiku seperti seumur hidup bersahabat dengannya. Dia pria terbaik setelah ayah. Dia pria yang tahu bagaimana bersikap baik pada wanita, bagaimana menghormati wanita. Sikap yang sudak teramat langka di jaman now.
------
Malam menggantung banyak bintang di langit, bersinar membentuk gugusan yang indah. Aku ingat malam itu, malam dimana aku dan Jovand pertama kali bertemu. Saat itu adalah malam ramah tamah. Kami para mahasiswa baru berkumpul membentuk kelompok dan mendirikan kemah. Saat itu aku terlambat datang karena ban motor papa kempes. Setiba di tempat kemah tak ada satupun yang ingin menerima aku di kelompoknya karena takut mendapat hukuman dari kakak-kakak OSIS. Namun Jovand mendekatiku menawarkan untuk bergabung, meski sebagian teman-temannya mulai menggerutu namun dengan tenang Jovand berusaha meyakinkan. Akhirnya kelompok kami malah di nobatkan sebagai group paling solid dan heboh.
Tapi bukan hanya malam itu yang membuat aku kembali terkenang pada Jovand, melainkan satu malam dimana dia menjadi peredam luka di hatiku. Malam itu aku sangat sedih, malam itu mama pergi meninggalkan papa. Saat itu adalah salah satu bagian tersulit dalam hidupku. Wanita yang paling aku cintai menyakiti hati pria yang paling aku banggakan dalam hidupku. Keluarga utuh dan harmonis yang selama ini tampak dimataku seketika menjadi sebuah lukisan kepedihan yang mencabik-cabik jantungku. Malam itu Jovand tidak hanya menyediakan bahu, tapi sebuah hati yang tulus untukku menumpahkan semua airmataku.
“Sabar ya Cind. Gue tahu apa yang loe hadapi saat ini sangat sulit. Tapi loe udah dewasa, loe harus bisa berfikir lebih bijak.”
“Tapi gue nggak ngerti Jo, Gue nggak bisa nerima bergitu aja apa yang mama lakuin ke papa.”
“Setidaknya mama loe nggak khianatin papa Loe Cind. Mama Cuma berusaha buat jujur, jujur tentang apa yang selama ini dia rasakan. Jujur tentang apa yang selama ini berusaha beliau sembunyikan. Meski kejujuran itu ternyata begitu menyakitkan buat loe dan bokap. Tapi loe juga harus berusaha buat memahami posisi beliau.”
“Tapi kenapa baru sekarang Jo? Kenapa baru sekarang mama bilang kalau mama nggak pernah benar-benar mencintai papa? Kalau mama bisa hidup selama tujuh belas tahun mendampingi papa sebagai istrinya, kenapa setelah bertahun-tahun baru sekarang mama bilang kalau semua itu nggak sepenuh hatinya?”
“Seperti halnya hujan, hati punya caranya sendiri untuk jatuh Cind. Itu di luar kendali kita. Kenapa? Karena hati kita bukan seutuhnya milik kita. Tapi milik Allah, Tuhan yang Maha membolak-bolakkan hati. Loe bayangin Cind, selama ini nyokap loe bertahan hidup dengan pria yang tidak dia cintai. Hidup sebagai istri yang berbakti, melayani semua kebutuhan bokap dan loe. Melakukan semuanya hanya sebagai bentuk kepatuhannya sebagai seorang istri. Sebagai seorang yang menganggap bahwa menikah itu adalah ibadah. Tapi disisi lain, nyokap loe punya hati, nyokap loe nggak bisa terus hidup dan membohongi perasaannya sendiri. Dan apa yang nyokap lalui selama ini udah cukup berat buat dia Cind.”
Aku masih terus menangis menutup wajahku dengan kedua belah tangan. Terisak mencoba memahami apa yang di sampaikan Jovand. Jovand menarik kepalaku bersandar di bahunya dan mengelus rambutku.
“Cind, Kita nggak akan pernah tahu kapan kita jatuh cinta dan dengan siapa, begitu juga kita nggak akan bisa mengatur hati kita untuk siapa. Kita memang bisa belajar untuk mencintai, tapi kita nggak punya jaminan apapun apakah itu akan berhasil atau nggak. Loe yang paling kenal sama nyokap, gue aja yang bukan anaknya tahu seberapa lembut hati nyokap loe. Nyokap Loe itu wanita yang nyakitin nyamuk aja nggak sanggup Cind. Loe tahu kan? Jadi gue minta, jangan karena pilihannya untuk jujur membuat persepsi Loe terhadap nyokap berubah. Loe berdoa aja semoga Tuhan mengirim keajaiban, dan membalikkan hati nyokap kehati bokap Loe. Loe berdoa ya.”
Malam itu aku mungkin kehilangan seorang mama, tapi aku menemukan sosok kakak dalam diri Jovand. Dia adalah pria dengan pemikiran yang bijak.  Jovand paling tahu cara menenangkanku, mengajarku melihat kehidupan dengan sudut pandang yang berbeda. Menatap kehidupan dengan hati yang luas dan penuh penerimaan. Sejak itu aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana seorang Cindy tanpa Jovand. Dia sahabatku, dia kakakku yang bisa seketika berubah menjadi adikku. Dia adalah guru yang mengajarkan banyak hal, dan dia adalah seorang anak kecil yang lucu yang tahu kapan dunia ingin melihat kita menertawakan kehidupan. Dengannya hidup terasa lebih ringan, sebab segala luka memiliki penerimaan. Sebab setiap pilihan memiliki hal terbaik untuk dinikmati, daripada harus tenggelam meratapi sedih yang mengikis habis kekuatan.
-----
“Cind, loe jadi ngantar Gue ke bandara?”
“Jadi donk. Gue bakal nganter loe sampai pesawat loe datang.”
“Non… yang bisa nganter gue sampai pesawat datang tuh orang-orang yang punya tiket dan masuk gate. Kalo loe mah paling sampai pintu masuk gate doank atau samapai parkiran.”
“Yeeee siapa bilang? Gue punya tiket. Nih liat nih, tiket loe kan ke Jakarta. Tiket gue ke Surabaya.”
“Lho lho… bentar. Loe juga berangkat besok? Ngapain Loe ke Surabaya? Kok Loe baru cerita ada rencana kesana?”
“Emmm… iya ini mendadak, gue harus gantiin bos gue buat hadirin meeting. Gue juga baru tahu tadi.”
“Waaahhh pas banget nih. Pesawat Loe berangkat lima belas menit setelah penerbangan gue. Jadi loe juga nggak kelamaan nunggu. Dan loe juga bisa nganter gue sampai pesawat gue datang. Ya nggak?”
Kami bersamaan melambungkan jemari ke udara melakukan high five
-----
Gerimis jatuh perlahan, meninggalkan jejak pada roda kendaraan yang membawaku dan Jovand menuju ke Bandara.  Charlie puth kembali mengiringi perjalanan kami, entah mengapa belakangan ini lagu If You Leave Me Know seolah menjadi backsound hidupku yang aku putar dimana-mana. Seperti halnya puisi, musik adalah media yang paling memahami apa yang kamu rasakan. Bila kamu tak cukup kata untuk mengungkapkan maka ungkapkanlah lewat lagu. Lagu seperti mata air bagi hati yang tak tahu harus mengucapkan apa.
Mobil terus melaju membelah hujan, setelah ini jarak dan rindulah yang akan memainkan peran utama. Aku tidak bisa membayangkan betapa hampanya hari-hariku berikutnya. Betapa hidup kembali sepi. Tidak tahu kah Jovand bahwa kepergiannya akan membawa seluruh tawa renyahku. Tidak akan ada yang sebaik dia dalam meciptakan harmoni. Di hatiku, dia adalah yang terbaik setelah papa.  Dia adalah buku yang paling ingin kubaca tanpa mengenal kata tamat. Di hatiku dia adalah lagu yang ingin selalu kunyanyikan mengikuti debar di jantungku.
-----
Setelah menerima boarding pass kami segera memasuki  gate. Aku mendapat gate 3 dan Jovand gate 5 namun kami memutuskan untuk menunggu di  gate  4, agar kami masih bisa menghabiskan waktu bersama sambil menunggu pesawat yang akan membawa masing-masing kami pergi meninggalkan kota yang mempertemukan kami, Balikpapan.
Kami mengambil beberapa gambar dan video, tertawa dan menertawakan diri sendiri. Sesekali nyinyir membicarakan satu dua penumpang berkelakuan aneh, tanpa menyadari bahwa mungkin kamilah yang paling aneh disana. Tertawa lepas tanpa beban, lupa sedang berada di tempat umum. Dimanapun asal bersama Jovand akan menjadi taman bermain bagiku. Kami selalu punya cara untuk membunuh sepi, memecah suasana. Apapun itu tak peduli, asal kami bisa terus tertawa dan berbagi bahagia. Meski sesekali aku kembali terdiam tiap kali sebuah pesawat datang dan mendarat. Aku selalu mengira itu adalah pesawat yang akan pergi membawa Jovand. Beberapa kali terdiam dan Jovand kembali menyadarkanku dengan celetukan usilnya. Sampai akhirnya suara yang tak ku inginkan itu benar-benar menggema. Announchement penerbangan Jovand mulai menggema. Suara yang terdengar sangat tidak bersahabat di telingaku. Suara yang memecah kebahagiaanku. Suara yang membuat lubang besar di dalam hatiku. Aku menatap Jovand dalam. Dia tersenyum, dia tahu apa yang aku rasakan. Dia orang yang paling memahami kesedihanku. Padanya aku tidak pernah bisa menyembunyikan kesedihan dan kepedihanku. Dia yang paling pandai membaca mata dan senyumku.
“Cind, gue pamit. Loe baik-baik ya. Jaga kesehatan. Enjoy your life. Kejar mimpi loe. Nikmati pekerjaan loe.”
Aku hanya tersenyum penuh sesak tak dapat mengucapkan banyak hal.
I’ll miss you so badly.”
Ucapku sembari menjatuhkan kepala dalam pelukan Jovand. Aku memeluknya erat, erat tanpa celah. Jovand membalas pelukan itu dan membelai rambutku seperti yang biasa ia lakukan saat menenangkanku.
“Loe bawa buku ini deh Cind. Buat kenang-kenangan.”
Aku mengangguk dan menerima sebuah novel yang baru saja dikeluarkan Jovand dari ranselnya. Setelah itu Ia mulai berbalik arah, pergi.
Aku terus menatap punggungnya. Dia masih disana, pada barisan orang-orang yang akan meninggalkan. Menjadi salah satu dari luka yang tercipta di bandara. Bandara selalu menyisakan cerita, menyisakan kesedihan, menyaksikan perpisahan, menyaksikan kepergian. Setelah ini, segalanya takkan lagi sama. Meski mungkin kami masih bisa berkomunikasi, namun segalanya tak akan lagi sama. Jovand akan sibuk dengan kehidupannya, sibuk dengan rencana-rencannya mengejar mimpi. Dan aku akan sibuk merindukannya, sibuk menghitung hari, sibuk menanti dia kembali.
Aku terus menatapnya sampai punggungnya benar-benar hilang dari pandangan mataku. Sampai petugas kembali duduk setelah semua penumpang dipastikan telah melewati pintu gate.
Perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA328 tujuan Surabaya dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu Gate 3.
Announcement penerbangan menuju Surabaya telat terdengar. Aku membalikkan badan, merobek boarding pass, dan beranjak keluar meninggalkan gate.
Aku ikut ke bandara mengantar kamu pergi. Aku membeli tiket paling murah saja hari ini, penerbangan kemanapun tak mengapa. Aku hanya ingin punya tiket masuk ke gate, menemanimu sampai pesawat yang akan membawamu pergi tiba. Aku hanya ingin lebih lama lagi bersamamu. Hingga aku menjadi orang terakhir yang mengantar kepergianmu. Menjadi orang yang paling berat melepaskanmu. Menjadi yang selalu berusaha menemanimu meski tak bisa.
Aku berjalan keluar meninggalkan bandara. Sambil memesan kendaraan online untuk pulang kembali ke rumah. Rumah yang selama ini menjadi salah satu markas kita. Setelah ini hanya akan ada jarak yang terus menertawakan lukaku, dan rindu yang menggedor-gedor pertahananku. Setelah ini segalanya takkan lagi sama Jo. Kamu memang masih ada, aku yakin kau akan selalu ada untukku. Namun tak berada disampingmu akan sangat menyiksaku. Harusnya aku bahagia, sebab kini aku tak perlu lagi menampilkan senyum kikuk dihadapanmu. Tak perlu lagi merasa takut, takut kalau-kalau kamu bisa mendengar debar jantungku tiap kali berada disampingmu. Takut kau menangkap sepasang mataku yang terus mengawasi gerak gerikmu. Takut memberi perhatian yang akan menjelaskan perasaanku yang sesungguhnya padamu.
Maafkan aku Jo, yang sudah melihatmu dengan tatapan yang berbeda. Maafkan aku yang diam-diam menumbuhkan rasa yang berbeda padamu. Semetara aku tak pernah pandai menilai apakah aku selama ini telah cukup pandai memainkan peran dihadapanmu. Apakah aku memang benar-benar berhasil menyembunyikan perasaan ini darimu.
Percayalah, aku tidak bermaksud merusak rasa nyaman yang sudah ada diantara kita. Seperti yang dulu kau katakan, hati kita punya caranya sendiri untuk jatuh. Seperti itulah aku jatuh, aku hanya mengikuti takdirku untuk jatuh. Seperti hujan pada bumi, matahari pada senja, dan aku padamu. Maka maafkan aku untuk perasaan ini.
Mobil yang ku pesan sudah tiba. Aku masuk dan menjatuhkan punggung pada sandaran mobil. Menatap kembali pintu gerbang bandara. Mengulang kembali kepergianmu di kepala. Berusaha menenangkan hatiku lagi dari kesedihan. Setelah ini hanya rindu yang akan menari diantara angin yang kian bising.
“Sudah siap nenk? Atau masih ada yang di tunggu?”
“Oh iya Pak, sudah boleh jalan.”
Supir taksi membuyarkan lamunanku. Kugeser tatapan mataku ke depan. Lalu mengambil novel yang tadi kau berikan. Ku baca judul novel itu, tiba2 sehelai amplop terjatuh. Aku mencoba meraihnya dari lantai kendaraan. Sebuah amplop berwarna biru muda dengan tinta biru “Dear My Sunshine, Cindy”


“Pada Senyummu yang Ku Kira Sunshine.”

Aku tidak pandai menulis puisi, atau merangkai kata-kata. Tapi hari ini entah apa membuatku sangat ingin menulis untukmu. Untuk menenangkan gundahmu, atau lebih tepatnya untuk menguatkan hatiku sendiri.
Kamu ; seseorang yang datang dengan kelembutan. Senyummu adalah matahari pagi bagiku. Begitu hangat dan renyah. Kamu wanita yang paling menganggap aku ada. Tak pernah ada seorangpun yang pernah menatapku seperti caramu melakukannya. Dan tatapan itu memiliki debar yang tak pernah bisa ku maknai di dalam dadaku.
Sungguh aku tak pernah ingin pergi. Tak pernah ingin jauh. Meski dekatmu menciptakan begitu banyak debar yang tak ku mengerti. Namun di sampingmu, tempat ternyaman selain pelukan.
Maafkan aku, maafkan aku yang terlalu pengecut untuk mengatakannya secara langsung. Maafkan aku yang tak pernah tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakan ini. Maafkan aku yang akhirnya memilih pergi untuk bersembunyi dari perasaanku sendiri. Aku hanya terlalu takut merubah rasa nyaman yang selama ini sudah kita bentuk bersama. Aku terlalu takut untuk mengatakan bahwa di mataku kau bukanlah sekedar sahabat. Kau lebih dari apa yang selama ini mampu untuk ku jelaskan dengan kata-kata.
Terserah akan di sebut apa perasaan ini. Yang aku tahu, aku menyayangimu dengan sangat.
Dan aku tak punya cukup nyali untuk mengatakannya.
Aku pergi. Tapi tidak untuk selamanya. Suatu hari nanti aku akan kembali. Mempertanyakan kembali perasaanku. Bisakah, aku mendapat hati yang lebih dari sekedar ini?
- J.






Biodata Penulis

PLUVILYU
Gadis kelahiran Makassar 23 Mey 1988 yang bernama asli Rosna, seorang accounting di perusahaan swasta yang baru mencoba untuk fokus ke dunia kepenulisan setelah sekian lama tertunda. Seorang Gemini yang begitu mencintai hujan, menyukai langit dan pantai. Baginya menulis adalah kebutuhan. Membaca dan menulis adalah sebuah jiwa dan raga yang tak bisa dipisahkan. Dengan menulis aku ‘ada”. Dengan menulis saya merasa memiliki dunia dan kebebasan saya sendiri. Untuk teman-teman yang ingin berkenalan langsung dapat menghubungi saya melalui akun-akun berikut ini :
 instagram ; @rose.pluvi
wattpad : @Pluvi_Lyu
tumblr : pluvilyu.tumblr.com/

0 komentar