Toxic Relationship


Genta melemparkan tas begitu saja di Kasur, lalu merebahkan tubuhnya yang letih. Baru ingin terpejam, namun dering telpon mengentikan niatnya.
GHEA
Apalagi sih Ge. Batinnya sembari mengGeser tombol hijau.
“Halo.”
“Gentaaaaa… kamu kemana aja sihhh. Kamu nggak baca whatsapp aku apa? Apa aku mulai nggak penting lagi buat kamu?!”
“Ge, kan aku udah bilang kalau lagi meeting BEM. Masa iya aku harus jelasin berkali2?”
“Hellooow, itu Cuma meeting BEM biasa kan? Bisa donk kamu sempatin balas chat aku atau minimal telpon aku pas udah kelar. Kenapa sih Ta gitu aja sulit banget buat kamu.”
“Udahan deh buat selalu mikir hal-hal lain nggak penting. Terus yang penting Cuma kamu gitu.?”
“Yaialah Ta, aku kan pacar kamu. Apalagi coba yang harus jadi prioritas teratas kamu kalau bukan aku. Masa kamu masih nggak faham juga. Kita udah masuk tahun ke -3 Genta.”
Genta hanya menarik nafas panjang, malas berdebat.
“Yaudah aku minta maaf. Terus sekarang kamu lagi ada perlu apa sampai harus marah-marah gini?”
“Ada perlu apa? Aku kan pacar kamu, masa sih buat hubungin pacar sendiri harus pakai alasan dulu. Gila kamu Ta.!!!”

***

“Hai Ghe, dah lama disini?”
“Gak kok, baru. Tumben kamu nyamperin ke kantin.”
Iya nih tadi gue dari perpus terus nemuin buku yang udah lama banget gue cari. Langsung habis setengah buku nih aku baca”
“Wow, buku apaan tuh.”
“Soe Hok Gie. Keren banget ya dia.”
“Soe Hok Gie? Siapa tuh?”
Genta diam dan tidak melanjutkan obrolan. Buyar sudah rencananya menjadikan Soe Hok Gie sebagai tema obrolan menarik sore ini bersama sang kekasih. Ternyata Ghea tidak tau siapa itu sosok Soe Hok Gie. Entahlah apakah Soe Hok Gie memang tidak begitu familiar namanya di antara remaja milenial sekarang. Tapi Genta tidak habis pikir kalau hal ini juga berlaku untuk kekasihnya, mahasiswi jurnalis semester 6. Bukankah Soe Hok Gie adalah salah satu sejarah di dunia jurnalis Indonesia.

***

Ghea dan Genta adalah pasangan kekasih seperti pada umumnya. Mereka bertemu di semester-semester awal di akhir tahun pertama. Jatuh cinta kemudian menjalin asmara. Hari-hari yang mereka lalui awalnya begitu menyenangkan, sama – sama mahasiswa jurusan jurnalis membuat mereka tidak kesulitan dalam memilih topik obrolan. Bahkan kebiasaan saling berkirim kata-kata romantis membuat hubungan yang mereka jalin kian manis. Namun bukan hubungan namanya apabila tidak ada masalah didalamnya. Genta adalah seorang aktifis kampus yang aktif dalam beberapa kegiatan. Genta yang memiliki cita-cita sebagai seorang penulis dan wartawan merasa dunia perkuliahan adalah saatnya menggali potensi dan menjaring relasi sebanyak-banyaknya. Genta yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara adalah sosok pria dewasa yang bertanggung jawab. Selain aktif di dunia perkuliahan Genta juga aktif menulis di beberapa blog remaja. Bahkan jumlah followersnya telah mencapai jutaan karena tulisan-tulisannya yang dinilai mewakili suara hati para remaja.
Lain halnya dengan Genta. Ghea adalah bungsu dari tiga bersaudara yang ketiganya adalah wanita. Wajarlah bila Ghea kurang mendalami pola berpikir pria yang simple. Sementara Ghea yang manja dan kurang memiliki minat dalam komunitas menghabiskan banyak waktu Bersama teman-teman dekatnya dan yang dia harapkan, kekasihnya.
Di tahun pertama hubungan itu berjalan manis, karakter Ghea yang labil selalu mampu diimbangi oleh Genta yang dewasa. Ghea yang malas apabila mendapat tugas kampus selalu berakhir dengan nilai yang baik atas motivasi Genta. Namun ibarat sebuah penyakit yang terus dibiarkan, pada akhirnya Genta mulai menyadari beberapa hal yang menjadi toxic dalam hubungan mereka.
Sikap Ghea yang egois, emosional dan labil yang selama ini dia hadapi dengan mengalah ternyata bukanlah jalan keluar yang bijaksana. Semakin hari Ghea kian menjadi – jadi. Dia merasa bahwa kebahagiaannya adalah tanggung jawab Genta. Sebagian waktu Genta adalah miliknya. Tidak sekali dua kali Ghea menghampiri Genta di kampus saat meeting hanya karena pesannya yang tak berbalas. Bukan sekali dua kali Ghea mengirim bahkan mengucapkan secara langsung kata-kata kasar kepada Genta hanya karena telpon yang diabaikan. Lalu kemudian hanya berakhir dengan cara minta maaf tanpa pernah berusaha memperbaiki apapun yang telah rusak diantara mereka.

***

“Woi, ngelamun aja Loe.”
Genta tersentak hampir menjatuhkan handphone dalam genggamannya.
“Apaan sih Loe Bel. Orang lagi ada masalah juga.”
“Cie ngambek, sorry deh.  Napa loe? Putusan?”
“Kok Loe tau sih.”
“Ya apaan lagi coba, tapi serius loe putusan.”
“Otw.”
“Gila, putusan aja pakai OTW. Ojol Loe?”
“Please donk Bel tolongin Gue, Gue lagi bingung nih.”
“Yaudah cerita aja.”
“Gue minta putus dari Ghea. Tapi seperti sebelumnya, doi self harm dan ngirimin potonya ke gue.”
“Ta… kita harus bawa Ghea ke psikiater deh. Perilaku dia itu udah nggak bisa di anggap normal.”
“Nggak bisa Bel, dia merasa itu sesuatu yang wajar. Dan dia juga nggak merasa itu harus di sembuhin. Itu hanya bentuk ancaman dia ke gue biar gue nggak ninggalin dia.”
“Tapi itu udah masuk salah satu bentuk nonsuicidal self-injury Ta. Hubungan yang Loe jalanin ini toxic Ta, Loe harus segera keluar sebelum akhirnya Loe sendiri yang bakalan hancur.”
“Gue Tau Bel, Jujur Bel apa yang gue jalanin setahun belakangan ini tuh bukan lagi cinta. Tapi suatu bentuk tanggung jawab karena gue karena udah memulai hubungan ini bersama. Kalau di tanya sayang, gue emank masih sayang sama Ghea. Tapi udah terlalu banyak hal yang gue tolerir dari Dia Bel. Dan gue sadar nggak boleh begini terus. Tapi disatu sisi gue juga bingung harus gimana. Please bantu gue Bel. Loe kan anak psikolog.”
“Gue Cuma mahasiswi psikolog semester 4 Ta, gue bukan psikiater. Yang loe butuhin itu psikiater, mending Loe duluan deh sebelum Loe gila gara-gara Ghea.”
Genta hanya tertunduk diam. Dia benar-benar tidak tau apa yang harus di lakukannya sekarang.

***

Seminggu berlalu sejak hari yang berat itu. Siang ini Genta berjanji akan menjemput Ghea di rumahnya dan akan menemaninya untuk berbelanja sedikit kebutuhan rumah. Hubungan mereka kembali membaik, sekali lagi Genta memilih mengalah sebagai solusi sementara. Lagi-lagi dia berusaha memahami posisi Ghea. Mungkin Ghea hanya butuh perhatiannya. Itu saja.
“Sayang makasih ya udah ditemenin belanja.”
“Iya sama-sama, yaudah aku langsung balik ya.”
“Lho kok langsung balik sih sayang, nggak masuk dulu.”
“Badan aku cape banget say, liat tuh belanjaan kamu tadi kan dua troli. Kamu suka gitu sih, bilangnya belanja dikit nggak taunya banyak.”
Ghea hanya tersenyum tipis menyadari kebiasaan buruknya. Membiarkan Genta pulang untuk beristirahat setelah setengah harian menemaninya,

***

“Hai Ta. Gimana, udah beres masalah Loe.”
“Hmmm… klasik Bel. Gue terpaksa ngalah lagi, Gue belum punya jalan lain.”
“Sabar ya Ta.”
“Gue bingung Bel. Gimana orang yang mengaku mencintai kita justru menjadi seseorang yang perlahan menghancurkan kita.”
“Ta, gue punya kalimat bagus nih buat Loe. Bahwa semua obat adalah racun, yang membedakan adalah dosisnya.” Ucap Bella tersenyum bangga dengan kalimat yang dia lontarkan barusan.
“Kok tumben sih Bel Loe benar. Iya juga ya. Seluruh obat bisa sekejap berubah jadi racun kalau dosis yang kita gunakan itu berlebihan. Tapi apa hubungannya sama hubungan gue Ta?”
“Yahhh… kirain paham. Ta, segala obat akan jadi racun tergantung dosis yang Loe gunain. Sama kaya perasaan Ta. Cinta yang manis itu yang sewajarnya, secukupnya, tidak memenjarakan, tidak mengikat dengan kuat. Cinta dengan dosis berlebihan hanya akan jadi toxic dalam hubungan. Yang akhirnya bakalan buat kita sulit buat bedain ini masih cinta atau bukan. Ghea tuh obsesi ke Loe Ta. Yang dia pikirin hanya memiliki Loe. Masalah loe bahagia apa nggak bareng dia, itu justru mungkin terlewat dari dia. Intinya Loe milik dia, udah titik. Sampai sini paham kan mengapa ada hubungan yang jadi toxic?”
“Bel, menurut Loe gimana, cara yang tepat buat sudahin semua ini.”
“Gue yakin Ta, cepat atau lambat kalian akan pisah. Ini hanya soal waktu dan keberanian Loe.”
“Dia selalu ngancam buat bunuh diri kalau gue ninggalin dia Bel. Gue udah cape banget.”
“Loe udah pernah komunikasikan ini ke orang tua Ghea belum Ta.?”
“Belum sempat Bel, karena gue malu. Malu kalau hubungan kami harus di selesaikan dengan bawa-bawa orang tua.”
“Ta. Apa yang membentuk Ghea hari ini adalah hasil dari masa pertumbuhannya, dari background kehidupan dia selama ini. Sedikit banyak orang tuanya pasti punya peran. Minimal mereka lebih memahami karakter Ghea daripada siapapun. Loe coba komunikasiin ke mereka deh.”
***
“Arghhhhhhhh.. Gentaaaaaaa.” Ghea berteriak tak kuasa menahan sakit di dalam hatinya. Dia mengamuk mengempas seluruh barang di ruangannya.
“Gheaaa.. astagfirullah. Istigfar Nak.” Ibunya masuk memeluk tubuh Ghea yang sudah bersimpuh darah di kedua tangannya.
“Diam. Ini semua gara-gara Ibu. Ibu kan yang nyuruh Genta buat ninggalin Ghea.”
“Astagfirullah, tidak seperti itu Nak.”
“Ibu mau aku hidup seperti Ibu kan? Sendirian tanpa orang yang dicintai. Menghabiskan masa tua sendirian tanpa seorang suami. Itukan yang Ibu mau?”
Bu Mirza hanya menangis mendapati kalimat itu keluar dari mulut anak bungsunya. Tidak dapat di elak bahwa kehidupan masalalunya memang turut andil dalam psikis Ghea hari ini. Bu Mirza yang beberapa puluh tahun hidup seorang diri tanpa suami. Suaminya pergi menikah lagi dengan wanita lain. Namun Bu Mirza yang saat itu hanya seorang Ibu Rumah Tangga biasa merasa tak punya kekuatan apapun untuk mempertahankan hubungan itu. Tanpa perlawanan apapun ia biarkan belahan jiwanya pergi ke pelukan wanita lain. Ghea kecil marah dan menganggap Ibunya tidak menyayangi ayahnya begitupun ayahnya.

***

Sudah minggu kedua di ruang rehabilitasi. Kondisi Ghea mulai membaik. Setelah mengonsumsi beberapa obat dan melakukan terapi, kini Ghea sudah sedikit merasa lebih baik. Dia mulai bisa tersenyum meski tatapannya masih kosong mencari sosok Genta yang entah berada dimana. Seluruh kontak yang biasa dia gunakan untuk menghubungi Genta tidak dapat dihubungi. Bahkan akun Instagram yang merupakan salah satu sumber penghasilannya melalui endorsement juga turut di nonaktifkan.

***

Ghea,
Maafin gue. Mungkin aku terlalu pengecut untuk bisa menghadapi kamu. Tapi aku tidak punya cara lain selain ini. Aku tau cara ini bisa jadi salah. Tapi hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki masa depan kita berdua.
Aku bukan orang yang tepat untuk kamu, begitu juga kamu untukku. Semoga kita mampu bahagia dengan cara kita masing-masing.

-PluviLyu-
Balikpapan, 12 April 2020


0 komentar