Pernah di bukukan dalam antologi cerpen berjudul "Jarak" Oleh Spasi Media
“Gimana Nay? Kamu
masih pengen bertahan?” Sepotong red velvet merasa begitu asing diantara dua
gelas caramel macchiato. Hari ini aku butuh sesuatu yang manis untuk ku telan.
Sebab mengingatnya sudah terlalu pahit bagiku.
“Udah Dhe, aku
cape. Aku udah putuskan buat nggak nunggu dia lagi.”
“Kamu yakin nggak
butuh penjelasan lagi dari dia?”
“Cukup
Dhe. Sebulan sejak
kejadian itu Atta nggak ada hubungin aku lagi.
Buat aku, sikapnya sudah menjelaskan semuanya. Aku udah nggak mau hidup
dalam kebodohan mencintai dia lagi. Ini pilihannya, dan aku harus terima.”
“Sabar ya Nay. Aku
tahu gimana sakitnya jadi kamu. Aku juga masih ingat gimana pertama kali kamu
ketemu Atta lagi waktu itu.”
Angin pantai berhembus lembut menerbangkan ingatanku
pada hari-hari saat Atta masih disini. Aku beranjak dari tempat duduk dan
berjalan mendekati bibir pantai, membiarkan dingin menyusup disela-sela jariku.
Kenangan bersama Atta kembali berputar-putar dikepala.
Sebuah kayu yang menepi terbawa ombak berhenti tepat dihadapanku. Kuraih kayu
berukuran kecil itu lalu kulempar kembali ketengah lautan. Tiba-tiba sebuah
botol menghantup jari kelingkingku.
“Apaan tuh Nay?”
“Tahu nih Dhe, lucu banget. Ada suratnya loh.”
“Gila, romantis banget. Buang deh Nay, isinya kutukan
tuh.” Ucap Dhea sambil tertawa mencoba menghiburku. Aku tetap memegang botol
itu meski tak berpikir untuk membukanya. Kulemparkan pandangan ketengah lautan.
Perlahan ingatanku kembali ke dua tahun silam, saat pertama
kali aku dan Atta bertemu kembali setelah lima tahun dia lenyap bagai ditelan
bumi. Malam itu, bagai sebuah bingkisan tahun baru dia hadir kembali.
*****
Malam pergantian
tahun selalu menjadi malam yang ditunggu-tunggu banyak orang, seolah tidak ada
yang ingin ketinggalan menghitung mundur waktu. Tapi bagiku semua biasa saja,
tidak lebih dari malam-malam lainnya. Bukan karena aku tidak mensyukuri waktu
yang Tuhan beri untukku, tapi karena memang tidak ada hal yang bisa aku kenang
dengan baik pada pergantian malam tahun baru. Sampai pada malam itu, malam
dimana Tuhan ingin aku memaknai tahun baru dengan cara yang berbeda.
“Nayya..” Saat aku
tengah sibuk mencari makna tahun baru dalam diriku, suara itu datang seolah
memberi makna tahun baru yang berbeda bagiku. Sejak itu, bagiku malam tahun baru
adalah sebuah kesempatan yang baru, harapan baru, dan cinta baru yang pernah
tertunda.
Namanya Atta, dia
bukan orang baru dalam hidupku. Kamu tahu cinta monyet? Ya.. kalau cinta monyet
itu memang ada, maka bagiku itu adalah Atta. Atta yang dulu tidak setampan
sekarang, namun lebih manis. Dia lucu, kocak, dan
menyenangkan. Dan malam itu, dia berubah menjadi sosok yang nyaris perfect. Dia jauh lebih tampan dari
seorang Atta yang dulu hobi memanjat pagar sekolah. Tapi gaya sok cool dan hobi tebar pesonanya memang
menjadi ciri khas Atta yang sulit ditepis.
“Sendirian aja?
Sohib lo si Nesha mana?”
“Udah lama lose contact. Sejak lulus SMA kita udah
jarang banget ketemu.”
“Kenapa? Ada
masalah lagi? Naksir cowok yang sama lagi ya?” Tanya Atta dengan lirikan mata yang usil seolah
mengingatkan kejadian lima tahun silam.
Nesha adalah
sahabatku semasa SMP. Dulu Atta adalah salah satu siswa idola di sekolah, dan
Nesha adalah salah satu fans fanatik Atta. Sayang sekali sebagai sahabat aku
kurang peka dan tidak menyadari itu. Aku pikir Nesha sudah menceritakan
segalanya padaku, ternyata tidak dengan persoalan Atta. Atta adalah hal yang
dia simpan rapi didalam hatinya, sampai saat kedekatanku dengan Atta menjadi
bom yang meledakkan pertahanannya. Nesha marah dan menganggap aku seorang
penghianat, padahal saat itu aku dan Atta tidak lebih dari seorang teman dekat.
Kemarahan Nesha yang membuat aku akhirnya memilih menjauhi Atta.
“Udah nggak usah
diingat. Nesha udah nikah bukan sih?” Aku membiarkan pertanyaan itu terus
menggantung, sebab saat itu otakku masih asik menari-nari pada kejadian lima
tahun silam.
*****
Sekarang aku dan
Atta adalah sepasang kekasih, kami merebut kembali kesempatan untuk bersama
yang dulu hilang. Pertemuan ini menegaskan bahwa setiap cinta memiliki masanya.
Bila tak dapat bersama pada saat itu, maka akan selalu ada kesempatan
berikutrnya bagimu yang ingin menunggu. Aku memang tidak secara langsung
menunggu Atta. Hanya saja, dulu aku pernah melepaskannya. Aku
pernah belajar mengikhlaskan cinta masa kecilku untuk sebuah persahabatan,
sebab aku tahu bahwa sebaik-baiknya cinta adalah yang tidak menyakiti siapapun.
Yang tidak merebut kebahagiaan siapapun. Dan bagiku, saat itu persahabatan
adalah yang utama. Kini Tuhan membawa kembali cintaku yang dulu. Tuhan memberi
kesempatan kedua bagi cinta kami. Dan cinta monyet yang dulu kurasakan, kini
bersemi menjadi cinta yang sesungguhnya.
Aku mencintai
Atta, sangat mencintai dia. Dia adalah seseorang yang berbeda dari pria-pria
yang kutemui sebelumnya. Atta melunturkan semua egoku. Semua kriteria pria yang
kubangun sebagai pendamping hidupku kelak, diruntuhkan oleh sosok Atta. Dia
membuatku sadar bahwa jatuh cinta itu tak butuh kriteria, ketika cinta itu
datang kamu hanya bisa pasrah, merentangkan sepasang sayap dan membuka hatimu
dengan bebas, lalu kamu akan terbang ketempat dimana cinta ingin membawamu.
Namun bukan cinta
namanya bila tak ada ujian. Siang itu
dengan berat hati aku melepaskan kepergian Atta untuk kembali ke Yogyakarta. Kembali pada rutinitas
perkuliahannya, kembali pada teman-temannya yang tak kukenal, kembali
menempatkan aku pada kenyataan bahwa cinta memang butuh perjuangan. Perjuangan
untuk tetap percaya, perjuangan untuk bertahan, perjuangan untuk terus belajar
menjadi dewasa.
“Taaaaa... janji
ya jangan macem-macem disana. Kuliah aja yang bener, biar cepat selesai, terus balik deh kesini buat aku.”
“Iya Tuan Putri,
nggak usah khawatir. Atta ini punya kamu, nggak akan ada yang ambil. Atta ini
bakal balik lagi secepatnya buat kamu. Oke?” Senyumnya berusaha menenangkanku,
sekaligus membuatku merasa rindu terlalu cepat datang, dia masih dihadapanku
namun hatiku sudah siap untuk sebuah kerinduan yang panjang untuknya. Atta,
seandainya kamu tahu... aku bukan nggak percaya sama kamu, tapi sama jarak.
Jarak itu jahat Ta, dia bisa ngerebut kamu dari aku kapan saja.
Aku segera menepis
pikiran-pikiran bodoh itu dari kepalaku, Atta masih dihadapanku, dan saat ini
aku hanya ingin menikmati detik-detik bersamanya. Untuk kukenang, untuk kubuka
saat rindu menyerang nanti.
*****
Bulan –bulan
pertama kepergian Atta, hidupku penuh kerinduan. Namun aku bahagia, karena Atta
selalu berusaha menenangkanku, begitupun aku. Jarak malah membuat aku merasa
semakin menyayangi dia. Setiap pagi, handphone adalah benda pertama yang kucari saat membuka mata. Aku selalu menunggu
ucapan selamat pagi darinya, atau malah menjadi weker bagi Atta. Kemanapun aku
pergi pesan singkat merekam setiap langkahku. Seperti harapanku padanya, aku
juga ingin Atta tenang disana dan mempercayai aku. Aku ingin dia tahu, bahwa
aku disini selalu menunggunya. Bahwa sekian banyak orang disekelilingku hanya dia
yang paling kumau. Dari semua orang
yang berada diantara rutinitasku satupun tak ada yang mampu mengisi kosongku
karenanya.
Meski jauh, Atta tetap menjadi yang kurasa paling
dekat denganku. Setiap malam kami menghabiskan waktu untuk video call atau sekedar
telponan. Sepanjang hari kami saling berkirim pesan dan gambar. Hal yang paling
menyenangkan adalah ketika kami makan di waktu yang sama di tempat yang
berbeda, menatap layar handphone dan meilhat Atta seolah berada dihadapanku.
Pernah suatu kali, saat hujan turun begitu deras, Atta
memaksaku untuk makan meski ditemani lilin. Disana Atta juga mematikan lampu
dan menyalakan lilin. Layaknya sebuah candle light dinner kami makan di temani
lilin masing-masing. Atta selalu mampu membuatku tersenyum dikejauhan memeluk
rindu yang makin membukit untuknya.
*****
Bulan –bulan
pertama LDRan kami, semua berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari
sebuah pesan masuk ke handphoneku, tapi bukan Atta. Namanya Rendra, mungkin
Rendra adalah utusan dari dewa kesedihan. Pesan pertamanya bukan hanya
meruntuhkan pertahananku, tapi juga kepercayaanku pada Atta. Rendra mengklaim
Atta sebagai perusak hubungannya dengan kekasihnya. Anehnya rendra membiarkan
itu terjadi.
Kukumpulkan semua
kekuatanku untuk mencari tahu tentang Meysa. Aku mendadak menjadi seorang
penguntit yang menstalking hampir
semua akun sosmed milik Meysa. Ternyata Meysa adalah mahasiswi di salah satu
perguruan tinggi negeri yang berbeda dengan Atta. Mereka kenal saat program KKN
yang dijalani Atta satu daerah dengan Meysa. Dari hasil pencarianku terkait
Meysa, seorang teman mengatakan bahwa disana Atta cukup dikenal orang. Atta
adalah salah seorang aktifis kampus yang aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus.
Tidak sedikit wanita yang ingin dekat dengan Atta. Wanita lain yang aku ketahui
dekat dengan Atta adalah Dera sahabatnya. Atta tak pernah memperkenalkan aku
dengan Dera, bahkan tidak pernah bercerita sedikitpun tentangnya.
Setelah yakin
memiliki banyak informasi terkait Meysa akhirnya kuberanikan diri untuk
bertanya kepada Atta. Namun apa yang
kudapatkan? BOHONG. Yaaa, pertanyaan pertama terkait status dan usia Meysa
dijawab dengan kebohongan oleh Atta. Atta mengkonfirmasi bahwa Meysa hanya
siswi SMA yang masih labil. Rusak sudah percayaku, runtuh sudah pertahananku.
Jawaban pertama Atta telah menunjukkan bahwa dia tidak sejujur Atta yang aku
harapkan selama ini. Aku tiba-tiba merasa tidak mengenal baik kekasihku.
Hari demi hari kulalui dengan pertengkaran, aku tak lagi
merasakan ketenangan seperti dulu. Terlebih masa KKN Atta di pelosok daerah membuatnya
harus kehilangan signal dan membuat komunikasi kami semakin berjarak.
Kuputuskan untuk berhenti sejenak, kami butuh jeda. Untuk sekedar memahami makna
di masing-masing hati.
*****
Satu bulan berjalan begitu lambat bagiku.
Hari-hariku dipenuhi kekosongan, aku terus bertanya-tanya perihal Meysa.
Mengapa Atta harus berbohong, mengapa inbox di akunnya harus dihapus. Apa yang
coba Atta tutupi dari aku. Aku terus mengutuki diriku yang bodoh, yang selama
ini begitu percaya padanya. Aku pikir aku tahu hampir semua kegiatan Atta sebab
hampir setiap jam kami berkabar. Ternyata aku salah, karena ada hal menyakitkan
yang ia sembunyikan dariku.
Di tengah rasa sakit itu, entah mengapa aku masih
saja merindukan sosok Atta. Aku mengutuki waktu, mengutuki jarak, mengutuk
semua hal yang kini menjauhkan aku darinya. Atta, andai kamu tahu betapa
sayangnya aku ke kamu. Andai kamu tahu betapa berartinya hubungan ini untuk
aku. Untukmu aku rela menjadi wanita yang sabar menanti diantara begitu banyak hati yang menginginkanku. Aku
menepis semua perhatian dari pria-pria yang berusaha mendekat hanya untuk kamu.
Tapi apa yang aku dapatkan? Luka.
*****
Malam menggantung banyak bintang di langit, aku
tersudut dalam perasaan sepi sendirian. Satu bulan berlalu dan tak ada yang
berubah, aku masih merindukannya. Malam ini aku membiarkan diriku terbenam
dalam kesendirian. Aku mendatangi sebuah pantai tempat aku dan Atta pernah menghabiskan
waktu bersama. Sekali waktu, datanglah mengunjungi pantai. Ombak yang bergulung
akan mengajarkanmu ada hal-hal dalam hidup ini yang berkeras apapun kau kejar
tak akan pernah kau miliki.
Sebuah lagu membuyarkan lamunanku, handphoneku berbunyi dan kuraih dengan enggan. Aku sungguh tak ingin
di ganggu.
Tiba-tiba jantungku berdetak kacau tak karuan.
“Atta”
“Halo.. Naya.”
“Halo.. iya Ta.”
“Nay, aku kangen.”
Jantungku berdetak lebih kencang. Dadaku sesak,
nafasku tertahan, bibirku bungkam. Sebening ketulusan mengalir di pipiku, dan
hatiku menjawabnya dengan lantang apa yang menyesak dikerongkongan “Ta.. aku juga kangen. Kangen Banget Ta.”
*****
Setiap manusia berhak atas kesempatan kedua. Aku
berusaha untuk kembali percaya pada Atta. Aku kembali menjalani hubungan
dengannya. Berusaha menutup semua kesakitan yang pernah kurasa. Entah aku yang
bodoh, atau Atta yang terlalu berarti bagiku. Aku hanya tak ingin kehilangan
Atta sekali lagi, itulah kalimat yang terus menguatkan aku.
Namun layaknya cermin yang pernah pecah,
merangkainya kembali adalah perkara yang nyaris tak mungkin. Mungkin dia akan
kembali utuh, namun ada bagian-bagian yang hilang, bagian yang pada akhirnya
hanya menciptakan ruang, menciptakan jarak yang semakin jauh antara aku dan
Atta.
Bukan hanya padaku, namun nampaknya Atta juga
mulai sering mencurigai aku. Entah darimana Atta selalu tahu detail rutinitasku
bahkan yang tidak kusampaikan padanya. Sepertinya ada seseorang disekilingku
yang menjadi mata-mata bagi Atta. Sebenarnya itu tidak harus menjadi masalah,
sebab aku yakin akan kesetiaanku padanya. Namun ada sisi lain dalam hatiku yang
merasa tak nyaman, gerak gerikku seolah di awasi. Dan ini yang akhirnya
membuatku memutuskan hal yang sama, memilih seseorang yang menjadi mata-mata
bagiku untuk Atta.
Naasnya, belum melakukan apapun aku sudah gagal.
Atta membaca pesanku dengan salah satu sahabat di Jogja. Atta marah besar, ia
merasa aku tak mempercayainya. Berulang kali aku memberi penjelasan namun tak
berguna sedikitpun. Dia merasa harga dirinya dicoreng. Dia merasa aku sudah
tidak percaya padanya. Bagiku ini sungguh tidak adil, mengapa Atta bisa
melakukannya tapi aku tidak. Dia memang lebih lihai dalam hal ini, tapi bukan
berarti dia benar. Aku terus mencoba memberi penjelasan, namun Atta menolak
bicara padaku.
Akhirnya kuberanikan diri menghubungi Dera
sahabatnya. Dari instagram story
milik Dera aku tahu bahwa mereka sedang berasama. Sejujurnya hal ini
menimbulkan kecemburuan lain dalam diriku. Aku merasa begitu malang, disaat
seperti ini, disaat aku sangat butuh kamu untuk menguatkan. Kamu malah bersama
wanita lain, tak peduli apa makna wanita itu bagimu. Dia menempati posisi
terdekat denganmu saat ini, dan itu menyakitkan. Tapi aku berusaha menahan
semuanya. Aku merendahkan hatiku untuk tetap menghubungi Atta melalui Dera. Aku
berusaha mengesampingkan lagi cemburuku untuk sebuah penjelasan. Atta andai
kamu bisa sedikit saja mengerti betapa berartinya hubungan ini untukku. Betapa
sakitnya disini menjadi aku yang begitu mencintai kamu.
Setelah meruntuhkan egoku, berusaha bijak
memahami posisimu, apa yang aku dapatkan? Kalimat paling menyakitkan yang
dilontarkan Atta malam itu.
“Nayya, cukup. Jangan permalukan aku didepan
sahabat-sahabatku. Di depan teman-temanku. Kamu tahu? Aku sudah pusing dengan
segala yang terjadi di hidupku, please
jangan kamu tambah lagi dengan sikapmu yang kekanak-kanakan.”
Hancur sudah hatiku, sedikitpun aku tak memiliki
makna lagi di hatinya. Aku tak tahu Atta akan setega ini padaku. Aku tidak
menyangka kalimat sesakit itu akan keluar dari mulut seorang yang paling aku
sayangi. Atta benar-benar sudah berubah. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan
dari hubungan ini. Mimpiku untuk menjadikannya yang terakhir pupus sudah. Aku
menelan mentah-mentah kalimat terakhir Atta sebagai sebuah penegasan. Bahwa
Atta kecilku dulu bukan lagi Atta yang kukenal saat ini. Dia sudah berubah.
*****
“Ta.. nih minum dulu. Udara di puncak dingin
banget. Lo harus minum wedang jahe ini biar anget. Yaaa... walaupun gue tahu
hati lo jauh lebih panas dari wedang ini.”
“Apaan sih lo Ra.”
Atta menerima segelas wedang jahe dari Dera
sahabatnya. Pikirannya masih melanglang jauh ke kota seberang. Bayangan Nayya
terus menghantui kepalanya.
“Kenapa sih lo gak jawab aja telp cewek lo? Gue
yang jadi nggak enak Ta sama dia. Ntar di kira gue ada apa-apa lagi sama lo.”
“Nggak apa-apa Ra. Biarin aja. Saat ini itu yang
terbaik.”
“Kenapa sih Ta lo nggak jelasin aja semuanya ke
Nayya? Biar dia lega. Biar dia nggak harus berpikir macam-macam.”
“Sulit Ra. Dia udah terlanjur nggak percaya sama
gue gara-gara gue bohong soal Mesya. Padahal gue ngomong gitu buat tenangin dia. Biar dia nggak mikir macam-macam. Karena gue
tahu banget cewek tuh gimana, kalau gue jujur
dia
akansemakin curiga dan tetap cemburu.”
“Terus soal Rendra. Kenapa lo biarin dia fitnah
lo kayagitu? Sebel banget gue sama dia. Kalau dia marah karena gagal jadi ketua
BEM akibat lo nggak mau calonin
diri jadi wakilnya, ya jangan bawa ke masalah pribadi dong sampe ngerusak hubungan orang.”
“Kita nggak bisa mengendalikan orang lain Ra.
Kita liat aja, suatu hari juga di bakal ngerasain balasan dari apa yang dia
lakuin ke gue, meski bukan secara langsung dari gue, tapi dia pasti dapetin
karmanya.”
“Terus hubungan lo sama Nayya gimana?”
“Lo tahu kan Ra gue sayang banget sama dia. Gue
seneng banget waktu ketemu dia lagi. Gue pikir itu benar-benar kesempatan emas
buat gue jalanin hubungan yang baik sama dia setelah lima tahun gue nungguin
dia. Tapi ternyata gue salah, sepertinya ini belum waktunya. Masih ada
rintangan yang berat banget yaitu jarak. Nayya benar, jarak itu jahat.”
Atta memainkan potongan kayu bakar di tengah
tumpukan bara api. Dingin yang menusuk di tulang seakan kalah dengan dinginnya
rindu yang mendekap hatinya pada Nayya. Di benaknya hanya ada Nayya, mesti entah mengapa jarak seakan menjadi monster yang
sangat menakutkan. Dia bukan tidak percaya pada Nayya sehingga harus memata-matainya.
Perasaan takut kehilanganlah yang membuatnya harus melakukan itu. Dia bukan
tidak percaya pada Nayya, melainkan tidak percaya pada jarak yang memisahkan
mereka. Atta percaya pada Nayya, namun dia tidak percaya pada orang-orang yang
berada disekeliling Nayya, siapapun bisa kapan saja merebut perhatiannya, merebut Nayya dari pelukannya. Ketakutan itulah yang
akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
“Mungkin saat ini belum waktunya Ra buat gue
ngejalanin hubungan sama Nayya. Saat ini gue masih banyak banget tanggung jawab
yang harus gue selesaikan. Kuliah gue juga nggak rampung-rampung karena
kecelakaan kemarin. Dan sekarang, buat nyelesaikan kuliah ini aja gue bingung
mesti gimana. Kondisi gue yang sekarang nggak memungkinkan untuk ambil tanggung
jawab yang lebih berat lagi. Gue cuma berharap, gue segera sembuh dan kembali
kuliah.”
Dera menatap iba pada Atta, sebagai sahabat tidak
ada yang bisa ia lakukan selain mendoakan dan memotivasi.
“Yaudah.. ini ada kertas dan bolpoin. Sekarang,
biar lo lebih lega lo tulis semua yang pengen lo sampein ke Nayya. Lo lipat surat itu kedalam botol ini dan biarkan dia mengalir
bersama air laut besok pagi. Kalaupun
bukan Nayya yang menerima surat ini, gue yakin semesta akan menjelaskan pada
Nayya apa yang memang harus dia ketahui.”
Atta tersenyum sembari mengambil pulpen dan
kertas dari tangan sahabatnya. Dia tahu ini kedengaran sedikit bodoh, namun dia
percaya bahwa apa yang di katakan Dera benar. Semesta selalu punya cara untuk
menjelaskan hal-hal yang tersembunyi. Dan selain itu, setidaknya tulisan ini
akan membuat perasaannya saat ini lebih lega.
Pada pemilik senyum terindah, Nayya.
Entah dengan apa aku harus menjelaskan
keindahanmu. Pemilik senyum terindah,
wanita berhati malaikat.
Kamu datang dalam hidupku saat aku masih mengeja
makna cinta, saat bermain bola menjadi hal yang paling menarik untuk di
pertaruhkan.
Aku pernah menunggumu begitu lama, aku pernah
mencintaimu dengan sabar. Maaf bila aku bukanlah orang yang pandai
mengungkapkan betapa berartinya kamu bagiku.
Semesta pernah membawamu pergi jauh dariku, lalu
semesta pula yang pada akhirnya mengembalikanmu. Bila hari ini semesta
menginginkan kau kembali jauh, maka maaffkan aku. Sebab saat ini aku tak punya cukup daya untuk
menahanmu.
Seperti halnya dulu. Aku tidak akan memintamu
menunggu. Aku akan membebaskanmu menentukan langkahmu. Tapi aku berjanji,
semesta takkan mempermainkan kita lagi. Kelak bila langit menghendaki,
mengembalikanmu sekali lagi. Takkan kubiarkan semesta merebutmu lagi.
Atta.
Angin berhembus kencang, hawa November seakan
menusuk di tulang. Dera kembali dari dalam setelah membereskan bekas minuman
dan camilan di meja. Sebuah surat sudah terlipat rapi untuk di lemparkan ke pantai besok pagi. Bulan semakin jauh dari tempatnya
datang, suara jangkrik bersautan seiring letupan bara di perapian.
“Sudah malam, ayo Ta aku bantu ke dalam. Botolnya
di bawa aja. Besok pagi-pagi kita ke pantai.”
Atta tersenyum mengiyakan. Angin berhembus kencang
mengusik nada dedaunan yang saling bergesekan. Kedua tangannya sibuk mengatur
kursi roda. Dera membantunya menguasai handle kursi, menahan bagian handlenya
sambil memutar roda ke kanan, lalu perlahan
menuntun Atta memasuki rumah peristirahatan. Mang Ujang dan beberapa teman yang berangkat bersama dari Jogja
sudah pulas di kamar masing-masing. Malam ini November membungkus kota dengan
dingin yang mencekam, namun ada yang lebih dingin di hati Atta, kerinduan yang
terus menerus menyebut nama Nayya di kepalanya.
---- END ----
Biodata Penulis
PLUVILYU
Gadis kelahiran
Makassar 23 Mey 1988 yang bernama asli Rosna, seorang accounting di perusahaan
swasta yang baru mencoba untuk fokus ke dunia kepenulisan setelah sekian lama
tertunda. Seorang Gemini yang begitu mencintai hujan, menyukai langit dan
pantai. Baginya menulis adalah kebutuhan. Membaca dan menulis adalah sebuah
jiwa dan raga yang tak bisa dipisahkan. Dengan menulis aku ‘ada”. Dengan
menulis saya merasa memiliki dunia dan kebebasan saya sendiri. Untuk
teman-teman yang ingin berkenalan langsung dapat menghubungi saya melalui
akun-akun berikut ini :
instagram ; @rose.pluvi
wattpad :
@Pluvi_Lyu
tumblr :
pluvilyu.tumblr.com/