Catatan Selepas Hujan
  • Perjalanan
  • Cerpen
  • Prosa/Puisi
  • Journal
  • Books and Movies
  • Ruang Makna

Pict from : https://id.pinterest.com/pin/350084571010759879/


Lama tak bicara tentang hujan. Bukan karena kemarau, bukankah kita tau bahwa tidak pernah benar-benar kemarau di kota kita. Seperti tidak pernah benar-benar ada kita dalam kita.
Dulu kita selalu melakukan ritual kebahagiaan untuk menyapa hujan yang turun. Kita seperti berlomba untuk saling mengabari tentang rintik pertama yang hinggap di kaca jendela. Kau yang menyebut dirimu penyuka hujan namun selalu bersembunyi di balik kaca jendela. Sementara aku yang sombong, berkali-kali memeluk hujan lalu kemudian kesakitan.
Bukan hanya satu ketika dimana hujan turun dan aku masih sangat ingin menyapamu. Namun entahlah, mengapa menjadi begitu sulit mengatakan hal sederhana kepada seseorang yang masih selalu disini. Hanya karena aku tak ingin kau menyadari, bahwa aku tengah rindu kamu yang dulu.
Bukan satu ketika dimana aku sangat ingin kita kembali tertahan disatu ruangan kecil karena hujan seperti saat pertama kita bertemu. Sebuah ruang yang kini ku sebut kenangan. Sebuah ruang yang ternyata bukan hanya menahan langkah kita siang itu, tapi juga hatiku.
Malam ini hujan. Dan aku melihatmu berteduh disebrang sana. Menadahkan tangan dibawah rinai yang jatuh dari atap tempat kau hinggap. Kemarau memang tidak pernah benar-benar kemarau di kota ini. Seperti kita yang tidak pernah benar-benar menjadi kita sejak awal. Malam ini aku tau, kita sama-sama bicara tentang hujan. Aku pada kertas ini, dan kau pada wanita disebelahmu di sebrang sana.

PluviLyu | Balikpapan, 19 April 2019




Pict from : https://id.pinterest.com/pin/112871534395121863/

Aku dan kamu dihadapan sepasang kaca yang menutup diri. 
Pohon-pohon diam mengamini debar yang tertahan, dan tatap yang ragu-ragu.
Disebrang sana trotoar membentang arahku dan arahmu yang saling berlawanan. 
Diatas kita ada awan, langit, 
dan Tuhan yang menulis takdir kita selanjutnya. 
Apa kau tak ingin tau?

-PluviLyu-
Balikpapan, 22 Januari 2019

Pict from : https://id.pinterest.com/pin/769341548831458574/


Mungkin bagi hujan, ia tidak melakukan apa-apa.
Selain mengikuti takdirnya untuk jatuh.

Hujan tidak pernah tau, bahwa semesta berterima kasih kepada Tuhan berkali-kali, telah mengirim hujan sebagai harapan hidup yang baru.

Begitulah langit menuliskan takdirnya.

Ketika kamu merasa belum melakukan apa-apa, mungkin semesta sudah bekerja lebih dulu. 

Ketika kamu merasa belum menghasilkan apa-apa, ternyata semesta telah melakukan segalanya.

Terima kasih. 

Mungkin bagimu kita hanya sepasang manusia yang saling sapa pada suatu senja. Tapi kau tak tau, luka apa yang telah kau obati saat itu.

PluviLyu

Balikpapan, 23 April 2019



Pict from : https://id.pinterest.com/pin/754282637578127598/

Pernah di Bukukan dalam antologi cerpen berjudul "Lubang Klandestin" oleh Team Literasi Media Berkarya

“Loe jadi berangkat Jo?”
“Iya Cind,  ayah sudah beli tiketnya kemarin. Lagian loe tahu kan ini cita-cita masa kecil gue. Gue pengen belajar musik dengan lebih baik. Gue pengen ngembangin bakat gue. Dan New York punya apa yang gue cari.”
“Jadi loe bakal ninggalin gue begitu aja.”
“Ayolah Cind, loe tahu kan gue juga berat pisah sama loe. Tapiii…”
“Ahahaha serius amat sih loe, iya iya Jooo gue cuma becanda kali. Gue ini sahabat loe, dan gue juga pengen yang terbaik buat masa depan loe. Ganbatte!”
“Oke. Thanks ya Cind, Gue doain loe juga bisa segera terkenal kaya Tereliye atau Illiana Tan. Bukan Cuma jadi penulis diary doank. Mimpi loe harus gede Cind, jangan pipi doank di gedein.”
Ucapnya dengan wajah mengejek sambil mengacak-acak rambutku tanpa melihat lirikan mataku yang sudah berubah menjadi harimau yang siap menerkamnya.
Suara Charlie Puth mengalun lagu If You Leave Me Now, liriknya seolah mengisi kosong di ruang hatiku seolah memahami bahwa ada yang seketika hilang disana saat aku tahu Jovand akan pergi dalam waktu yang lama. Jovand adalah sahabatku sejak di bangku SMA. Dia pria yang membuatku merasa tak punya pacar itu sah-sah saja. Selama ada Jovand aku tidak akan pernah kekurangan perhatian. Aku tidak akan pernah merasa kurang kasih sayang. Jovand selalu ada untukku, untuk semua keluh kesahku, untuk semua kegilaan dan kemanjaanku. Lima tahun bagiku seperti seumur hidup bersahabat dengannya. Dia pria terbaik setelah ayah. Dia pria yang tahu bagaimana bersikap baik pada wanita, bagaimana menghormati wanita. Sikap yang sudak teramat langka di jaman now.
------
Malam menggantung banyak bintang di langit, bersinar membentuk gugusan yang indah. Aku ingat malam itu, malam dimana aku dan Jovand pertama kali bertemu. Saat itu adalah malam ramah tamah. Kami para mahasiswa baru berkumpul membentuk kelompok dan mendirikan kemah. Saat itu aku terlambat datang karena ban motor papa kempes. Setiba di tempat kemah tak ada satupun yang ingin menerima aku di kelompoknya karena takut mendapat hukuman dari kakak-kakak OSIS. Namun Jovand mendekatiku menawarkan untuk bergabung, meski sebagian teman-temannya mulai menggerutu namun dengan tenang Jovand berusaha meyakinkan. Akhirnya kelompok kami malah di nobatkan sebagai group paling solid dan heboh.
Tapi bukan hanya malam itu yang membuat aku kembali terkenang pada Jovand, melainkan satu malam dimana dia menjadi peredam luka di hatiku. Malam itu aku sangat sedih, malam itu mama pergi meninggalkan papa. Saat itu adalah salah satu bagian tersulit dalam hidupku. Wanita yang paling aku cintai menyakiti hati pria yang paling aku banggakan dalam hidupku. Keluarga utuh dan harmonis yang selama ini tampak dimataku seketika menjadi sebuah lukisan kepedihan yang mencabik-cabik jantungku. Malam itu Jovand tidak hanya menyediakan bahu, tapi sebuah hati yang tulus untukku menumpahkan semua airmataku.
“Sabar ya Cind. Gue tahu apa yang loe hadapi saat ini sangat sulit. Tapi loe udah dewasa, loe harus bisa berfikir lebih bijak.”
“Tapi gue nggak ngerti Jo, Gue nggak bisa nerima bergitu aja apa yang mama lakuin ke papa.”
“Setidaknya mama loe nggak khianatin papa Loe Cind. Mama Cuma berusaha buat jujur, jujur tentang apa yang selama ini dia rasakan. Jujur tentang apa yang selama ini berusaha beliau sembunyikan. Meski kejujuran itu ternyata begitu menyakitkan buat loe dan bokap. Tapi loe juga harus berusaha buat memahami posisi beliau.”
“Tapi kenapa baru sekarang Jo? Kenapa baru sekarang mama bilang kalau mama nggak pernah benar-benar mencintai papa? Kalau mama bisa hidup selama tujuh belas tahun mendampingi papa sebagai istrinya, kenapa setelah bertahun-tahun baru sekarang mama bilang kalau semua itu nggak sepenuh hatinya?”
“Seperti halnya hujan, hati punya caranya sendiri untuk jatuh Cind. Itu di luar kendali kita. Kenapa? Karena hati kita bukan seutuhnya milik kita. Tapi milik Allah, Tuhan yang Maha membolak-bolakkan hati. Loe bayangin Cind, selama ini nyokap loe bertahan hidup dengan pria yang tidak dia cintai. Hidup sebagai istri yang berbakti, melayani semua kebutuhan bokap dan loe. Melakukan semuanya hanya sebagai bentuk kepatuhannya sebagai seorang istri. Sebagai seorang yang menganggap bahwa menikah itu adalah ibadah. Tapi disisi lain, nyokap loe punya hati, nyokap loe nggak bisa terus hidup dan membohongi perasaannya sendiri. Dan apa yang nyokap lalui selama ini udah cukup berat buat dia Cind.”
Aku masih terus menangis menutup wajahku dengan kedua belah tangan. Terisak mencoba memahami apa yang di sampaikan Jovand. Jovand menarik kepalaku bersandar di bahunya dan mengelus rambutku.
“Cind, Kita nggak akan pernah tahu kapan kita jatuh cinta dan dengan siapa, begitu juga kita nggak akan bisa mengatur hati kita untuk siapa. Kita memang bisa belajar untuk mencintai, tapi kita nggak punya jaminan apapun apakah itu akan berhasil atau nggak. Loe yang paling kenal sama nyokap, gue aja yang bukan anaknya tahu seberapa lembut hati nyokap loe. Nyokap Loe itu wanita yang nyakitin nyamuk aja nggak sanggup Cind. Loe tahu kan? Jadi gue minta, jangan karena pilihannya untuk jujur membuat persepsi Loe terhadap nyokap berubah. Loe berdoa aja semoga Tuhan mengirim keajaiban, dan membalikkan hati nyokap kehati bokap Loe. Loe berdoa ya.”
Malam itu aku mungkin kehilangan seorang mama, tapi aku menemukan sosok kakak dalam diri Jovand. Dia adalah pria dengan pemikiran yang bijak.  Jovand paling tahu cara menenangkanku, mengajarku melihat kehidupan dengan sudut pandang yang berbeda. Menatap kehidupan dengan hati yang luas dan penuh penerimaan. Sejak itu aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana seorang Cindy tanpa Jovand. Dia sahabatku, dia kakakku yang bisa seketika berubah menjadi adikku. Dia adalah guru yang mengajarkan banyak hal, dan dia adalah seorang anak kecil yang lucu yang tahu kapan dunia ingin melihat kita menertawakan kehidupan. Dengannya hidup terasa lebih ringan, sebab segala luka memiliki penerimaan. Sebab setiap pilihan memiliki hal terbaik untuk dinikmati, daripada harus tenggelam meratapi sedih yang mengikis habis kekuatan.
-----
“Cind, loe jadi ngantar Gue ke bandara?”
“Jadi donk. Gue bakal nganter loe sampai pesawat loe datang.”
“Non… yang bisa nganter gue sampai pesawat datang tuh orang-orang yang punya tiket dan masuk gate. Kalo loe mah paling sampai pintu masuk gate doank atau samapai parkiran.”
“Yeeee siapa bilang? Gue punya tiket. Nih liat nih, tiket loe kan ke Jakarta. Tiket gue ke Surabaya.”
“Lho lho… bentar. Loe juga berangkat besok? Ngapain Loe ke Surabaya? Kok Loe baru cerita ada rencana kesana?”
“Emmm… iya ini mendadak, gue harus gantiin bos gue buat hadirin meeting. Gue juga baru tahu tadi.”
“Waaahhh pas banget nih. Pesawat Loe berangkat lima belas menit setelah penerbangan gue. Jadi loe juga nggak kelamaan nunggu. Dan loe juga bisa nganter gue sampai pesawat gue datang. Ya nggak?”
Kami bersamaan melambungkan jemari ke udara melakukan high five
-----
Gerimis jatuh perlahan, meninggalkan jejak pada roda kendaraan yang membawaku dan Jovand menuju ke Bandara.  Charlie puth kembali mengiringi perjalanan kami, entah mengapa belakangan ini lagu If You Leave Me Know seolah menjadi backsound hidupku yang aku putar dimana-mana. Seperti halnya puisi, musik adalah media yang paling memahami apa yang kamu rasakan. Bila kamu tak cukup kata untuk mengungkapkan maka ungkapkanlah lewat lagu. Lagu seperti mata air bagi hati yang tak tahu harus mengucapkan apa.
Mobil terus melaju membelah hujan, setelah ini jarak dan rindulah yang akan memainkan peran utama. Aku tidak bisa membayangkan betapa hampanya hari-hariku berikutnya. Betapa hidup kembali sepi. Tidak tahu kah Jovand bahwa kepergiannya akan membawa seluruh tawa renyahku. Tidak akan ada yang sebaik dia dalam meciptakan harmoni. Di hatiku, dia adalah yang terbaik setelah papa.  Dia adalah buku yang paling ingin kubaca tanpa mengenal kata tamat. Di hatiku dia adalah lagu yang ingin selalu kunyanyikan mengikuti debar di jantungku.
-----
Setelah menerima boarding pass kami segera memasuki  gate. Aku mendapat gate 3 dan Jovand gate 5 namun kami memutuskan untuk menunggu di  gate  4, agar kami masih bisa menghabiskan waktu bersama sambil menunggu pesawat yang akan membawa masing-masing kami pergi meninggalkan kota yang mempertemukan kami, Balikpapan.
Kami mengambil beberapa gambar dan video, tertawa dan menertawakan diri sendiri. Sesekali nyinyir membicarakan satu dua penumpang berkelakuan aneh, tanpa menyadari bahwa mungkin kamilah yang paling aneh disana. Tertawa lepas tanpa beban, lupa sedang berada di tempat umum. Dimanapun asal bersama Jovand akan menjadi taman bermain bagiku. Kami selalu punya cara untuk membunuh sepi, memecah suasana. Apapun itu tak peduli, asal kami bisa terus tertawa dan berbagi bahagia. Meski sesekali aku kembali terdiam tiap kali sebuah pesawat datang dan mendarat. Aku selalu mengira itu adalah pesawat yang akan pergi membawa Jovand. Beberapa kali terdiam dan Jovand kembali menyadarkanku dengan celetukan usilnya. Sampai akhirnya suara yang tak ku inginkan itu benar-benar menggema. Announchement penerbangan Jovand mulai menggema. Suara yang terdengar sangat tidak bersahabat di telingaku. Suara yang memecah kebahagiaanku. Suara yang membuat lubang besar di dalam hatiku. Aku menatap Jovand dalam. Dia tersenyum, dia tahu apa yang aku rasakan. Dia orang yang paling memahami kesedihanku. Padanya aku tidak pernah bisa menyembunyikan kesedihan dan kepedihanku. Dia yang paling pandai membaca mata dan senyumku.
“Cind, gue pamit. Loe baik-baik ya. Jaga kesehatan. Enjoy your life. Kejar mimpi loe. Nikmati pekerjaan loe.”
Aku hanya tersenyum penuh sesak tak dapat mengucapkan banyak hal.
“I’ll miss you so badly.”
Ucapku sembari menjatuhkan kepala dalam pelukan Jovand. Aku memeluknya erat, erat tanpa celah. Jovand membalas pelukan itu dan membelai rambutku seperti yang biasa ia lakukan saat menenangkanku.
“Loe bawa buku ini deh Cind. Buat kenang-kenangan.”
Aku mengangguk dan menerima sebuah novel yang baru saja dikeluarkan Jovand dari ranselnya. Setelah itu Ia mulai berbalik arah, pergi.
Aku terus menatap punggungnya. Dia masih disana, pada barisan orang-orang yang akan meninggalkan. Menjadi salah satu dari luka yang tercipta di bandara. Bandara selalu menyisakan cerita, menyisakan kesedihan, menyaksikan perpisahan, menyaksikan kepergian. Setelah ini, segalanya takkan lagi sama. Meski mungkin kami masih bisa berkomunikasi, namun segalanya tak akan lagi sama. Jovand akan sibuk dengan kehidupannya, sibuk dengan rencana-rencannya mengejar mimpi. Dan aku akan sibuk merindukannya, sibuk menghitung hari, sibuk menanti dia kembali.
Aku terus menatapnya sampai punggungnya benar-benar hilang dari pandangan mataku. Sampai petugas kembali duduk setelah semua penumpang dipastikan telah melewati pintu gate.
Perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA328 tujuan Surabaya dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu Gate 3.
Announcement penerbangan menuju Surabaya telat terdengar. Aku membalikkan badan, merobek boarding pass, dan beranjak keluar meninggalkan gate.
Aku ikut ke bandara mengantar kamu pergi. Aku membeli tiket paling murah saja hari ini, penerbangan kemanapun tak mengapa. Aku hanya ingin punya tiket masuk ke gate, menemanimu sampai pesawat yang akan membawamu pergi tiba. Aku hanya ingin lebih lama lagi bersamamu. Hingga aku menjadi orang terakhir yang mengantar kepergianmu. Menjadi orang yang paling berat melepaskanmu. Menjadi yang selalu berusaha menemanimu meski tak bisa.
Aku berjalan keluar meninggalkan bandara. Sambil memesan kendaraan online untuk pulang kembali ke rumah. Rumah yang selama ini menjadi salah satu markas kita. Setelah ini hanya akan ada jarak yang terus menertawakan lukaku, dan rindu yang menggedor-gedor pertahananku. Setelah ini segalanya takkan lagi sama Jo. Kamu memang masih ada, aku yakin kau akan selalu ada untukku. Namun tak berada disampingmu akan sangat menyiksaku. Harusnya aku bahagia, sebab kini aku tak perlu lagi menampilkan senyum kikuk dihadapanmu. Tak perlu lagi merasa takut, takut kalau-kalau kamu bisa mendengar debar jantungku tiap kali berada disampingmu. Takut kau menangkap sepasang mataku yang terus mengawasi gerak gerikmu. Takut memberi perhatian yang akan menjelaskan perasaanku yang sesungguhnya padamu.
Maafkan aku Jo, yang sudah melihatmu dengan tatapan yang berbeda. Maafkan aku yang diam-diam menumbuhkan rasa yang berbeda padamu. Semetara aku tak pernah pandai menilai apakah aku selama ini telah cukup pandai memainkan peran dihadapanmu. Apakah aku memang benar-benar berhasil menyembunyikan perasaan ini darimu.
Percayalah, aku tidak bermaksud merusak rasa nyaman yang sudah ada diantara kita. Seperti yang dulu kau katakan, hati kita punya caranya sendiri untuk jatuh. Seperti itulah aku jatuh, aku hanya mengikuti takdirku untuk jatuh. Seperti hujan pada bumi, matahari pada senja, dan aku padamu. Maka maafkan aku untuk perasaan ini.
Mobil yang ku pesan sudah tiba. Aku masuk dan menjatuhkan punggung pada sandaran mobil. Menatap kembali pintu gerbang bandara. Mengulang kembali kepergianmu di kepala. Berusaha menenangkan hatiku lagi dari kesedihan. Setelah ini hanya rindu yang akan menari diantara angin yang kian bising.
“Sudah siap nenk? Atau masih ada yang di tunggu?”
“Oh iya Pak, sudah boleh jalan.”
Supir taksi membuyarkan lamunanku. Kugeser tatapan mataku ke depan. Lalu mengambil novel yang tadi kau berikan. Ku baca judul novel itu, tiba2 sehelai amplop terjatuh. Aku mencoba meraihnya dari lantai kendaraan. Sebuah amplop berwarna biru muda dengan tinta biru “Dear My Sunshine, Cindy”


“Pada Senyummu yang Ku Kira Sunshine.”

Aku tidak pandai menulis puisi, atau merangkai kata-kata. Tapi hari ini entah apa membuatku sangat ingin menulis untukmu. Untuk menenangkan gundahmu, atau lebih tepatnya untuk menguatkan hatiku sendiri.
Kamu ; seseorang yang datang dengan kelembutan. Senyummu adalah matahari pagi bagiku. Begitu hangat dan renyah. Kamu wanita yang paling menganggap aku ada. Tak pernah ada seorangpun yang pernah menatapku seperti caramu melakukannya. Dan tatapan itu memiliki debar yang tak pernah bisa ku maknai di dalam dadaku.
Sungguh aku tak pernah ingin pergi. Tak pernah ingin jauh. Meski dekatmu menciptakan begitu banyak debar yang tak ku mengerti. Namun di sampingmu, tempat ternyaman selain pelukan.
Maafkan aku, maafkan aku yang terlalu pengecut untuk mengatakannya secara langsung. Maafkan aku yang tak pernah tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakan ini. Maafkan aku yang akhirnya memilih pergi untuk bersembunyi dari perasaanku sendiri. Aku hanya terlalu takut merubah rasa nyaman yang selama ini sudah kita bentuk bersama. Aku terlalu takut untuk mengatakan bahwa di mataku kau bukanlah sekedar sahabat. Kau lebih dari apa yang selama ini mampu untuk ku jelaskan dengan kata-kata.
Terserah akan di sebut apa perasaan ini. Yang aku tahu, aku menyayangimu dengan sangat.
Dan aku tak punya cukup nyali untuk mengatakannya.
Aku pergi. Tapi tidak untuk selamanya. Suatu hari nanti aku akan kembali. Mempertanyakan kembali perasaanku. Bisakah, aku mendapat hati yang lebih dari sekedar ini?
- J.






Biodata Penulis

PLUVILYU
Gadis kelahiran Makassar 23 Mey 1988 yang bernama asli Rosna, seorang accounting di perusahaan swasta yang baru mencoba untuk fokus ke dunia kepenulisan setelah sekian lama tertunda. Seorang Gemini yang begitu mencintai hujan, menyukai langit dan pantai. Baginya menulis adalah kebutuhan. Membaca dan menulis adalah sebuah jiwa dan raga yang tak bisa dipisahkan. Dengan menulis aku ‘ada”. Dengan menulis saya merasa memiliki dunia dan kebebasan saya sendiri. Untuk teman-teman yang ingin berkenalan langsung dapat menghubungi saya melalui akun-akun berikut ini :
 instagram ; @rose.pluvi
wattpad : @Pluvi_Lyu
tumblr : pluvilyu.tumblr.com/


Pict By :https://id.pinterest.com/pin/199565827211981496/

Pernah di bukukan dalam antologi cerpen berjudul "Jarak" Oleh Spasi Media


“Gimana Nay? Kamu masih pengen bertahan?” Sepotong red velvet merasa begitu asing diantara dua gelas caramel macchiato. Hari ini aku butuh sesuatu yang manis untuk ku telan. Sebab mengingatnya sudah terlalu pahit bagiku.
“Udah Dhe, aku cape. Aku udah putuskan buat nggak nunggu dia lagi.”
“Kamu yakin nggak butuh penjelasan lagi dari dia?”
“Cukup Dhe. Sebulan sejak kejadian itu Atta nggak ada hubungin aku lagi. Buat aku, sikapnya sudah menjelaskan semuanya. Aku udah nggak mau hidup dalam kebodohan mencintai dia lagi. Ini pilihannya, dan aku harus terima.”
“Sabar ya Nay. Aku tahu gimana sakitnya jadi kamu. Aku juga masih ingat gimana pertama kali kamu ketemu Atta lagi waktu itu.”
Angin pantai berhembus lembut menerbangkan ingatanku pada hari-hari saat Atta masih disini. Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan mendekati bibir pantai, membiarkan dingin menyusup disela-sela jariku.
Kenangan bersama Atta kembali berputar-putar dikepala. Sebuah kayu yang menepi terbawa ombak berhenti tepat dihadapanku. Kuraih kayu berukuran kecil itu lalu kulempar kembali ketengah lautan. Tiba-tiba sebuah botol menghantup jari kelingkingku.
“Apaan tuh Nay?”
“Tahu nih Dhe, lucu banget. Ada suratnya loh.”
“Gila, romantis banget. Buang deh Nay, isinya kutukan tuh.” Ucap Dhea sambil tertawa mencoba menghiburku. Aku tetap memegang botol itu meski tak berpikir untuk membukanya. Kulemparkan pandangan ketengah lautan. Perlahan ingatanku kembali ke dua tahun silam, saat pertama kali aku dan Atta bertemu kembali setelah lima tahun dia lenyap bagai ditelan bumi. Malam itu, bagai sebuah bingkisan tahun baru dia hadir kembali.

*****

Malam pergantian tahun selalu menjadi malam yang ditunggu-tunggu banyak orang, seolah tidak ada yang ingin ketinggalan menghitung mundur waktu. Tapi bagiku semua biasa saja, tidak lebih dari malam-malam lainnya. Bukan karena aku tidak mensyukuri waktu yang Tuhan beri untukku, tapi karena memang tidak ada hal yang bisa aku kenang dengan baik pada pergantian malam tahun baru. Sampai pada malam itu, malam dimana Tuhan ingin aku memaknai tahun baru dengan cara yang berbeda.
“Nayya..” Saat aku tengah sibuk mencari makna tahun baru dalam diriku, suara itu datang seolah memberi makna tahun baru yang berbeda bagiku. Sejak itu, bagiku malam tahun baru adalah sebuah kesempatan yang baru, harapan baru, dan cinta baru yang pernah tertunda.
Namanya Atta, dia bukan orang baru dalam hidupku. Kamu tahu cinta monyet? Ya.. kalau cinta monyet itu memang ada, maka bagiku itu adalah Atta. Atta yang dulu tidak setampan sekarang, namun lebih manis. Dia lucu, kocak, dan menyenangkan. Dan malam itu, dia berubah menjadi sosok yang nyaris perfect. Dia jauh lebih tampan dari seorang Atta yang dulu hobi memanjat pagar sekolah. Tapi gaya sok cool dan hobi tebar pesonanya memang menjadi ciri khas Atta yang sulit ditepis.
“Sendirian aja? Sohib lo si Nesha mana?”
“Udah lama lose contact. Sejak lulus SMA kita udah jarang banget ketemu.”
“Kenapa? Ada masalah lagi? Naksir cowok yang sama lagi ya?” Tanya Atta dengan lirikan mata yang usil seolah mengingatkan kejadian lima tahun silam.
Nesha adalah sahabatku semasa SMP. Dulu Atta adalah salah satu siswa idola di sekolah, dan Nesha adalah salah satu fans fanatik Atta. Sayang sekali sebagai sahabat aku kurang peka dan tidak menyadari itu. Aku pikir Nesha sudah menceritakan segalanya padaku, ternyata tidak dengan persoalan Atta. Atta adalah hal yang dia simpan rapi didalam hatinya, sampai saat kedekatanku dengan Atta menjadi bom yang meledakkan pertahanannya. Nesha marah dan menganggap aku seorang penghianat, padahal saat itu aku dan Atta tidak lebih dari seorang teman dekat. Kemarahan Nesha yang membuat aku akhirnya memilih menjauhi Atta.
“Udah nggak usah diingat. Nesha udah nikah bukan sih?” Aku membiarkan pertanyaan itu terus menggantung, sebab saat itu otakku masih asik menari-nari pada kejadian lima tahun silam.

*****

Sekarang aku dan Atta adalah sepasang kekasih, kami merebut kembali kesempatan untuk bersama yang dulu hilang. Pertemuan ini menegaskan bahwa setiap cinta memiliki masanya. Bila tak dapat bersama pada saat itu, maka akan selalu ada kesempatan berikutrnya bagimu yang ingin menunggu. Aku memang tidak secara langsung menunggu Atta. Hanya saja, dulu aku pernah melepaskannya. Aku pernah belajar mengikhlaskan cinta masa kecilku untuk sebuah persahabatan, sebab aku tahu bahwa sebaik-baiknya cinta adalah yang tidak menyakiti siapapun. Yang tidak merebut kebahagiaan siapapun. Dan bagiku, saat itu persahabatan adalah yang utama. Kini Tuhan membawa kembali cintaku yang dulu. Tuhan memberi kesempatan kedua bagi cinta kami. Dan cinta monyet yang dulu kurasakan, kini bersemi menjadi cinta yang sesungguhnya.
Aku mencintai Atta, sangat mencintai dia. Dia adalah seseorang yang berbeda dari pria-pria yang kutemui sebelumnya. Atta melunturkan semua egoku. Semua kriteria pria yang kubangun sebagai pendamping hidupku kelak, diruntuhkan oleh sosok Atta. Dia membuatku sadar bahwa jatuh cinta itu tak butuh kriteria, ketika cinta itu datang kamu hanya bisa pasrah, merentangkan sepasang sayap dan membuka hatimu dengan bebas, lalu kamu akan terbang ketempat dimana cinta ingin membawamu.
Namun bukan cinta namanya bila tak ada ujian. Siang itu dengan berat hati aku melepaskan kepergian Atta untuk kembali ke Yogyakarta. Kembali pada rutinitas perkuliahannya, kembali pada teman-temannya yang tak kukenal, kembali menempatkan aku pada kenyataan bahwa cinta memang butuh perjuangan. Perjuangan untuk tetap percaya, perjuangan untuk bertahan, perjuangan untuk terus belajar menjadi dewasa.
“Taaaaa... janji ya jangan macem-macem disana. Kuliah aja yang bener, biar cepat selesai, terus balik deh kesini buat aku.”
“Iya Tuan Putri, nggak usah khawatir. Atta ini punya kamu, nggak akan ada yang ambil. Atta ini bakal balik lagi secepatnya buat kamu. Oke?” Senyumnya berusaha menenangkanku, sekaligus membuatku merasa rindu terlalu cepat datang, dia masih dihadapanku namun hatiku sudah siap untuk sebuah kerinduan yang panjang untuknya. Atta, seandainya kamu tahu... aku bukan nggak percaya sama kamu, tapi sama jarak. Jarak itu jahat Ta, dia bisa ngerebut kamu dari aku kapan saja.
Aku segera menepis pikiran-pikiran bodoh itu dari kepalaku, Atta masih dihadapanku, dan saat ini aku hanya ingin menikmati detik-detik bersamanya. Untuk kukenang, untuk kubuka saat rindu menyerang nanti.

*****

Bulan –bulan pertama kepergian Atta, hidupku penuh kerinduan. Namun aku bahagia, karena Atta selalu berusaha menenangkanku, begitupun aku. Jarak malah membuat aku merasa semakin menyayangi dia. Setiap pagi, handphone adalah benda pertama yang kucari saat membuka mata. Aku selalu menunggu ucapan selamat pagi darinya, atau malah menjadi weker bagi Atta. Kemanapun aku pergi pesan singkat merekam setiap langkahku. Seperti harapanku padanya, aku juga ingin Atta tenang disana dan mempercayai aku. Aku ingin dia tahu, bahwa aku disini selalu menunggunya. Bahwa sekian banyak orang disekelilingku hanya dia yang paling kumau. Dari semua orang yang berada diantara rutinitasku satupun tak ada yang mampu mengisi kosongku karenanya.
Meski jauh, Atta tetap menjadi yang kurasa paling dekat denganku. Setiap malam kami menghabiskan waktu untuk video call atau sekedar telponan. Sepanjang hari kami saling berkirim pesan dan gambar. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika kami makan di waktu yang sama di tempat yang berbeda, menatap layar handphone dan meilhat Atta seolah berada dihadapanku.
Pernah suatu kali, saat hujan turun begitu deras, Atta memaksaku untuk makan meski ditemani lilin. Disana Atta juga mematikan lampu dan menyalakan lilin. Layaknya sebuah candle light dinner kami makan di temani lilin masing-masing. Atta selalu mampu membuatku tersenyum dikejauhan memeluk rindu yang makin membukit untuknya.

*****

Bulan –bulan pertama LDRan kami, semua berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari sebuah pesan masuk ke handphoneku, tapi bukan Atta. Namanya Rendra, mungkin Rendra adalah utusan dari dewa kesedihan. Pesan pertamanya bukan hanya meruntuhkan pertahananku, tapi juga kepercayaanku pada Atta. Rendra mengklaim Atta sebagai perusak hubungannya dengan kekasihnya. Anehnya rendra membiarkan itu terjadi.  
Kukumpulkan semua kekuatanku untuk mencari tahu tentang Meysa. Aku mendadak menjadi seorang penguntit yang menstalking hampir semua akun sosmed milik Meysa. Ternyata Meysa adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri yang berbeda dengan Atta. Mereka kenal saat program KKN yang dijalani Atta satu daerah dengan Meysa. Dari hasil pencarianku terkait Meysa, seorang teman mengatakan bahwa disana Atta cukup dikenal orang. Atta adalah salah seorang aktifis kampus yang aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus. Tidak sedikit wanita yang ingin dekat dengan Atta. Wanita lain yang aku ketahui dekat dengan Atta adalah Dera sahabatnya. Atta tak pernah memperkenalkan aku dengan Dera, bahkan tidak pernah bercerita sedikitpun tentangnya.
Setelah yakin memiliki banyak informasi terkait Meysa akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepada Atta. Namun apa yang kudapatkan? BOHONG. Yaaa, pertanyaan pertama terkait status dan usia Meysa dijawab dengan kebohongan oleh Atta. Atta mengkonfirmasi bahwa Meysa hanya siswi SMA yang masih labil. Rusak sudah percayaku, runtuh sudah pertahananku. Jawaban pertama Atta telah menunjukkan bahwa dia tidak sejujur Atta yang aku harapkan selama ini. Aku tiba-tiba merasa tidak mengenal baik kekasihku.
Hari demi hari kulalui dengan pertengkaran, aku tak lagi merasakan ketenangan seperti dulu. Terlebih masa KKN Atta di pelosok daerah membuatnya harus kehilangan signal dan membuat komunikasi kami semakin berjarak. Kuputuskan untuk berhenti sejenak, kami butuh jeda. Untuk sekedar memahami makna di masing-masing hati.

*****

Satu bulan berjalan begitu lambat bagiku. Hari-hariku dipenuhi kekosongan, aku terus bertanya-tanya perihal Meysa. Mengapa Atta harus berbohong, mengapa inbox di akunnya harus dihapus. Apa yang coba Atta tutupi dari aku. Aku terus mengutuki diriku yang bodoh, yang selama ini begitu percaya padanya. Aku pikir aku tahu hampir semua kegiatan Atta sebab hampir setiap jam kami berkabar. Ternyata aku salah, karena ada hal menyakitkan yang ia sembunyikan dariku. 

Di tengah rasa sakit itu, entah mengapa aku masih saja merindukan sosok Atta. Aku mengutuki waktu, mengutuki jarak, mengutuk semua hal yang kini menjauhkan aku darinya. Atta, andai kamu tahu betapa sayangnya aku ke kamu. Andai kamu tahu betapa berartinya hubungan ini untuk aku. Untukmu aku rela menjadi wanita yang sabar menanti diantara begitu banyak hati yang menginginkanku. Aku menepis semua perhatian dari pria-pria yang berusaha mendekat hanya untuk kamu. Tapi apa yang aku dapatkan? Luka.

*****

Malam menggantung banyak bintang di langit, aku tersudut dalam perasaan sepi sendirian. Satu bulan berlalu dan tak ada yang berubah, aku masih merindukannya. Malam ini aku membiarkan diriku terbenam dalam kesendirian. Aku mendatangi sebuah pantai tempat aku dan Atta pernah menghabiskan waktu bersama. Sekali waktu, datanglah mengunjungi pantai. Ombak yang bergulung akan mengajarkanmu ada hal-hal dalam hidup ini yang berkeras apapun kau kejar tak akan pernah kau miliki. 

Sebuah lagu membuyarkan lamunanku, handphoneku berbunyi dan kuraih dengan enggan. Aku sungguh tak ingin di ganggu. 

Tiba-tiba jantungku berdetak kacau tak karuan. “Atta” 

“Halo.. Naya.”
“Halo.. iya Ta.”
“Nay, aku kangen.”

Jantungku berdetak lebih kencang. Dadaku sesak, nafasku tertahan, bibirku bungkam. Sebening ketulusan mengalir di pipiku, dan hatiku menjawabnya dengan lantang apa yang menyesak dikerongkongan “Ta.. aku juga kangen. Kangen Banget Ta.”

*****

Setiap manusia berhak atas kesempatan kedua. Aku berusaha untuk kembali percaya pada Atta. Aku kembali menjalani hubungan dengannya. Berusaha menutup semua kesakitan yang pernah kurasa. Entah aku yang bodoh, atau Atta yang terlalu berarti bagiku. Aku hanya tak ingin kehilangan Atta sekali lagi, itulah kalimat yang terus menguatkan aku.

Namun layaknya cermin yang pernah pecah, merangkainya kembali adalah perkara yang nyaris tak mungkin. Mungkin dia akan kembali utuh, namun ada bagian-bagian yang hilang, bagian yang pada akhirnya hanya menciptakan ruang, menciptakan jarak yang semakin jauh antara aku dan Atta.

Bukan hanya padaku, namun nampaknya Atta juga mulai sering mencurigai aku. Entah darimana Atta selalu tahu detail rutinitasku bahkan yang tidak kusampaikan padanya. Sepertinya ada seseorang disekilingku yang menjadi mata-mata bagi Atta. Sebenarnya itu tidak harus menjadi masalah, sebab aku yakin akan kesetiaanku padanya. Namun ada sisi lain dalam hatiku yang merasa tak nyaman, gerak gerikku seolah di awasi. Dan ini yang akhirnya membuatku memutuskan hal yang sama, memilih seseorang yang menjadi mata-mata bagiku untuk Atta. 

Naasnya, belum melakukan apapun aku sudah gagal. Atta membaca pesanku dengan salah satu sahabat di Jogja. Atta marah besar, ia merasa aku tak mempercayainya. Berulang kali aku memberi penjelasan namun tak berguna sedikitpun. Dia merasa harga dirinya dicoreng. Dia merasa aku sudah tidak percaya padanya. Bagiku ini sungguh tidak adil, mengapa Atta bisa melakukannya tapi aku tidak. Dia memang lebih lihai dalam hal ini, tapi bukan berarti dia benar. Aku terus mencoba memberi penjelasan, namun Atta menolak bicara padaku. 

Akhirnya kuberanikan diri menghubungi Dera sahabatnya. Dari instagram story milik Dera aku tahu bahwa mereka sedang berasama. Sejujurnya hal ini menimbulkan kecemburuan lain dalam diriku. Aku merasa begitu malang, disaat seperti ini, disaat aku sangat butuh kamu untuk menguatkan. Kamu malah bersama wanita lain, tak peduli apa makna wanita itu bagimu. Dia menempati posisi terdekat denganmu saat ini, dan itu menyakitkan. Tapi aku berusaha menahan semuanya. Aku merendahkan hatiku untuk tetap menghubungi Atta melalui Dera. Aku berusaha mengesampingkan lagi cemburuku untuk sebuah penjelasan. Atta andai kamu bisa sedikit saja mengerti betapa berartinya hubungan ini untukku. Betapa sakitnya disini menjadi aku yang begitu mencintai kamu. 

Setelah meruntuhkan egoku, berusaha bijak memahami posisimu, apa yang aku dapatkan? Kalimat paling menyakitkan yang dilontarkan Atta malam itu. 

“Nayya, cukup. Jangan permalukan aku didepan sahabat-sahabatku. Di depan teman-temanku. Kamu tahu? Aku sudah pusing dengan segala yang terjadi di hidupku, please jangan kamu tambah lagi dengan sikapmu yang kekanak-kanakan.”

Hancur sudah hatiku, sedikitpun aku tak memiliki makna lagi di hatinya. Aku tak tahu Atta akan setega ini padaku. Aku tidak menyangka kalimat sesakit itu akan keluar dari mulut seorang yang paling aku sayangi. Atta benar-benar sudah berubah. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan dari hubungan ini. Mimpiku untuk menjadikannya yang terakhir pupus sudah. Aku menelan mentah-mentah kalimat terakhir Atta sebagai sebuah penegasan. Bahwa Atta kecilku dulu bukan lagi Atta yang kukenal saat ini. Dia sudah berubah.

*****

“Ta.. nih minum dulu. Udara di puncak dingin banget. Lo harus minum wedang jahe ini biar anget. Yaaa... walaupun gue tahu hati lo jauh lebih panas dari wedang ini.”

“Apaan sih lo Ra.”

Atta menerima segelas wedang jahe dari Dera sahabatnya. Pikirannya masih melanglang jauh ke kota seberang. Bayangan Nayya terus menghantui kepalanya. 

“Kenapa sih lo gak jawab aja telp cewek lo? Gue yang jadi nggak enak Ta sama dia. Ntar di kira gue ada apa-apa lagi sama lo.”

“Nggak apa-apa Ra. Biarin aja. Saat ini itu yang terbaik.”

“Kenapa sih Ta lo nggak jelasin aja semuanya ke Nayya? Biar dia lega. Biar dia nggak harus berpikir macam-macam.”

“Sulit Ra. Dia udah terlanjur nggak percaya sama gue gara-gara gue bohong soal Mesya. Padahal gue ngomong gitu buat tenangin dia. Biar dia nggak mikir macam-macam. Karena gue tahu banget cewek tuh gimana, kalau gue jujur dia akansemakin curiga dan tetap cemburu.”

“Terus soal Rendra. Kenapa lo biarin dia fitnah lo kayagitu? Sebel banget gue sama dia. Kalau dia marah karena gagal jadi ketua BEM akibat lo nggak mau calonin diri jadi wakilnya, ya jangan bawa ke masalah pribadi dong sampe ngerusak hubungan orang.”

“Kita nggak bisa mengendalikan orang lain Ra. Kita liat aja, suatu hari juga di bakal ngerasain balasan dari apa yang dia lakuin ke gue, meski bukan secara langsung dari gue, tapi dia pasti dapetin karmanya.”

“Terus hubungan lo sama Nayya gimana?”

“Lo tahu kan Ra gue sayang banget sama dia. Gue seneng banget waktu ketemu dia lagi. Gue pikir itu benar-benar kesempatan emas buat gue jalanin hubungan yang baik sama dia setelah lima tahun gue nungguin dia. Tapi ternyata gue salah, sepertinya ini belum waktunya. Masih ada rintangan yang berat banget yaitu jarak. Nayya benar, jarak itu jahat.” 

Atta memainkan potongan kayu bakar di tengah tumpukan bara api. Dingin yang menusuk di tulang seakan kalah dengan dinginnya rindu yang mendekap hatinya pada Nayya. Di benaknya hanya ada Nayya, mesti entah mengapa jarak seakan menjadi monster yang sangat menakutkan. Dia bukan tidak percaya pada Nayya sehingga harus memata-matainya. Perasaan takut kehilanganlah yang membuatnya harus melakukan itu. Dia bukan tidak percaya pada Nayya, melainkan tidak percaya pada jarak yang memisahkan mereka. Atta percaya pada Nayya, namun dia tidak percaya pada orang-orang yang berada disekeliling Nayya, siapapun bisa kapan saja merebut perhatiannya, merebut Nayya dari pelukannya. Ketakutan itulah yang akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

“Mungkin saat ini belum waktunya Ra buat gue ngejalanin hubungan sama Nayya. Saat ini gue masih banyak banget tanggung jawab yang harus gue selesaikan. Kuliah gue juga nggak rampung-rampung karena kecelakaan kemarin. Dan sekarang, buat nyelesaikan kuliah ini aja gue bingung mesti gimana. Kondisi gue yang sekarang nggak memungkinkan untuk ambil tanggung jawab yang lebih berat lagi. Gue cuma berharap, gue segera sembuh dan kembali kuliah.”

Dera menatap iba pada Atta, sebagai sahabat tidak ada yang bisa ia lakukan selain mendoakan dan memotivasi. 

“Yaudah.. ini ada kertas dan bolpoin. Sekarang, biar lo lebih lega lo tulis semua yang pengen lo sampein ke Nayya. Lo lipat surat itu kedalam botol ini dan biarkan dia mengalir bersama air laut besok pagi. Kalaupun bukan Nayya yang menerima surat ini, gue yakin semesta akan menjelaskan pada Nayya apa yang memang harus dia ketahui.”

Atta tersenyum sembari mengambil pulpen dan kertas dari tangan sahabatnya. Dia tahu ini kedengaran sedikit bodoh, namun dia percaya bahwa apa yang di katakan Dera benar. Semesta selalu punya cara untuk menjelaskan hal-hal yang tersembunyi. Dan selain itu, setidaknya tulisan ini akan membuat perasaannya saat ini lebih lega.

Pada pemilik senyum terindah, Nayya.

Entah dengan apa aku harus menjelaskan keindahanmu. Pemilik senyum terindah, wanita berhati malaikat. 

Kamu datang dalam hidupku saat aku masih mengeja makna cinta, saat bermain bola menjadi hal yang paling menarik untuk di pertaruhkan. 

Aku pernah menunggumu begitu lama, aku pernah mencintaimu dengan sabar. Maaf bila aku bukanlah orang yang pandai mengungkapkan betapa berartinya kamu bagiku. 

Semesta pernah membawamu pergi jauh dariku, lalu semesta pula yang pada akhirnya mengembalikanmu. Bila hari ini semesta menginginkan kau kembali jauh, maka maaffkan aku. Sebab saat ini aku tak punya cukup daya untuk menahanmu. 

Seperti halnya dulu. Aku tidak akan memintamu menunggu. Aku akan membebaskanmu menentukan langkahmu. Tapi aku berjanji, semesta takkan mempermainkan kita lagi. Kelak bila langit menghendaki, mengembalikanmu sekali lagi. Takkan kubiarkan semesta merebutmu lagi. 

Atta.

Angin berhembus kencang, hawa November seakan menusuk di tulang. Dera kembali dari dalam setelah membereskan bekas minuman dan camilan di meja. Sebuah surat sudah terlipat rapi untuk di lemparkan ke pantai besok pagi. Bulan semakin jauh dari tempatnya datang, suara jangkrik bersautan seiring letupan bara di perapian.

“Sudah malam, ayo Ta aku bantu ke dalam. Botolnya di bawa aja. Besok pagi-pagi kita ke pantai.”

Atta tersenyum mengiyakan. Angin berhembus kencang mengusik nada dedaunan yang saling bergesekan. Kedua tangannya sibuk mengatur kursi roda. Dera membantunya menguasai handle kursi, menahan bagian handlenya sambil memutar roda ke kanan, lalu perlahan menuntun Atta memasuki rumah peristirahatan. Mang Ujang dan beberapa teman yang berangkat bersama dari Jogja sudah pulas di kamar masing-masing. Malam ini November membungkus kota dengan dingin yang mencekam, namun ada yang lebih dingin di hati Atta, kerinduan yang terus menerus menyebut nama Nayya di kepalanya.
---- END ----

Biodata Penulis
PLUVILYU - ROSNA.jpeg

PLUVILYU
Gadis kelahiran Makassar 23 Mey 1988 yang bernama asli Rosna, seorang accounting di perusahaan swasta yang baru mencoba untuk fokus ke dunia kepenulisan setelah sekian lama tertunda. Seorang Gemini yang begitu mencintai hujan, menyukai langit dan pantai. Baginya menulis adalah kebutuhan. Membaca dan menulis adalah sebuah jiwa dan raga yang tak bisa dipisahkan. Dengan menulis aku ‘ada”. Dengan menulis saya merasa memiliki dunia dan kebebasan saya sendiri. Untuk teman-teman yang ingin berkenalan langsung dapat menghubungi saya melalui akun-akun berikut ini :
instagram ; @rose.pluvi
wattpad : @Pluvi_Lyu
tumblr : pluvilyu.tumblr.com/


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

ABOUT ME

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Manusia dan Badainya
  • Proses Pembentukan Hujan, Luka dan Airmata
  • Journal Diri 1
  • Funiculi Funicula “Kisah-Kisah yang Baru Terungkap”
  • Sebelum Hari Ibu Berakhir
  • Le Petit Prince (Buku Terjemahan)
  • Kisah Baper Nabi Ibrahim yang Meninggalkan Istri dan Bayinya
  • Untukmu yang Merasa Diabaikan
  • JANJI, Karya TERE LIYE
  • Funiculi Funicula “Before The Coffee Gets Cold”

Tayangan Halaman

Categories

  • Books and Movies 11
  • Cerpen 6
  • Journal 16
  • KATA KATA 1
  • Kisah Para Nabi 4
  • Mentalhealt 7
  • Perjalanan 1
  • Prosa/Puisi 17
  • Ruang Makna 9
  • Sudut Pandang 2

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

  • Mei 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Desember 2024 (3)
  • November 2024 (2)
  • Oktober 2024 (1)
  • September 2024 (11)
  • Agustus 2024 (14)
  • Juni 2024 (1)
  • November 2021 (1)
  • April 2020 (7)

Label

  • Books and Movies
  • Cerpen
  • Journal
  • KATA KATA
  • Kisah Para Nabi
  • Mentalhealt
  • Perjalanan
  • Prosa/Puisi
  • Ruang Makna
  • Sudut Pandang

Laporkan Penyalahgunaan

Cerpen

Proses Pembentukan Hujan, Luka dan Airmata

Evaporasi Segala yang berawal dari hal-hal kecil yang berhasil menyentuh inti hatimu. Seperti matahari yang memanaskan airlaut, beberapa ...


Copyright © Catatan Selepas Hujan. Designed by OddThemes