BUKU: IBRAHIM Manusia Paling Mesra dengan Tuhannya
Karya: Ust. Salim A. Fillah
Nabi Nuh adalah nabi pertama yang menghadapi kaum yang menyembah berhala. Dahulu, ada sekelompok orang saleh yang berkumpul dan berbincang. Mereka adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Setelah mereka wafat, untuk mengenang mereka, dibuatlah patung-patung mereka. Berawal dari kenangan tersebut, lama-kelamaan masyarakat mulai meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan, dan dengan begitu, mereka bisa menjadi perantara dalam meminta hajat kepada Allah. Lalu, mereka mulai memuja dan menyembah patung-patung tersebut sebagai perantara kepada Allah. Seiring berjalannya waktu dan ilmu semakin menghilang, mereka kemudian menyembah patung-patung itu. Tradisi menjadi satu-satunya hujah bagi mereka dalam menyembah berhala.
Kemudian, Nabi Ibrahim menyampaikan kepada kaumnya bahwa apa yang mereka dan nenek moyang mereka lakukan adalah kesesatan. Sesungguhnya, yang harus mereka sembah adalah Rabb yang menciptakan dan memelihara seluruh alam semesta ini. Jika kita menyembah patung, bukankah patung itu terbuat dari batu, yang hanyalah bagian kecil dari unsur yang ada di bumi? Bukankah ada yang menciptakan batu ini? Begitu pula langit tempat bumi beredar dan planet lainnya, semuanya diciptakan oleh-Nya. Itulah Rabb semesta alam. Namun, alih-alih menerima, kaum yang merasa tergores egonya malah marah dan tidak terima dengan perkataan tersebut.
Nabi Ibrahim pun menanti saat yang tepat. Saat itu akhirnya datang pada hari perayaan festival, di mana seluruh masyarakat turun ke jalan. Di sinilah Ibrahim “berbohong,” seperti yang disabdakan Rasulullah SAW: “Beliau berbohong tiga kali selama hidupnya.” Namun, bohongnya ini dalam rangka mengagungkan Allah. Dan meskipun beliau sangat malu kepada Allah pada hari kiamat, bohong ini memiliki tujuan mulia.
Ibrahim berkata bahwa dirinya “akan” sakit jika ikut serta, jadi beliau memilih untuk tetap berada di kota dan melaksanakan rencananya. Setelah kaumnya pergi, Ibrahim segera mengambil kapaknya dan menuju altar suci tempat berhala biasa disembah. Di sana terdapat sesajian untuk berhala. Ibrahim menghancurkan berhala-berhala tersebut satu per satu, namun beliau menyisakan satu yang paling besar.
Ketika mereka kembali, mereka geram dan satu-satunya tersangka adalah Ibrahim. “Wahai Ibrahim, apakah kamu yang menghancurkan sesembahan kami?” tanya mereka. Ibrahim menjawab, “Lho, bukankah yang menghancurkannya adalah patung yang paling besar? Lihat, kapak saya ada dalam genggamannya. Tanyakan saja padanya, kalau dia bisa bicara.” Kaum tersebut terdiam dan tidak mampu melawan argumen Nabi Ibrahim. Karena akal mereka tidak sampai untuk membantah, mereka pun melakukan kekerasan fisik dengan membakar tubuh Ibrahim.
Dikisahkan, Nabi Ibrahim berada dalam kobaran api selama 40-50 hari. Dalam keadaan tersebut, Nabi Ibrahim memohon pertolongan kepada Dzat yang Agung.
“Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang bertauhid kepada-Mu, menyembah Engkau, dan mengagungkan Engkau. Sementara mereka adalah orang-orang yang kufur kepada-Mu dan berupaya menghancurkan aku.”
“Hasbunallah wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah bagiku, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung dan penolong). Maka, Ibrahim memandang ke langit, menghadap ke atas, memohon pertolongan Allah. Kemudian, dengan ke-Esa-an Allah, api yang panas itu berubah menjadi dingin. Namun, bukan hanya dingin, karena dingin pun bisa membinasakan Ibrahim. Allah pun memerintahkan api, “Wa salaman ‘ala Ibrahim” (salam sejahtera atas Ibrahim). Maka, api itu menjadi pelindung bagi Ibrahim. Bahkan, Nabi Ibrahim mengatakan, “Hidup dalam api itu, atas pertolongan Allah, dijadikan dingin dan keselamatan atasku adalah kehidupan yang paling indah sepanjang hidupku.”
Serangkaian dakwah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dengan menghancurkan patung dan mendebat kaumnya tentang keyakinan yang keliru adalah salah satu metode dakwah yang dianugerahkan Allah kepada Ibrahim. Namun, hal ini berbeda dengan yang Allah kehendaki terhadap Rasulullah SAW. Selama 13 tahun, Rasulullah mendakwahkan tauhid dengan pendekatan yang penuh kesabaran, membaca Al-Qur’an, dan mengajak manusia ke jalan Allah di dekat Ka’bah, di mana terdapat 360 berhala, namun beliau tidak pernah menyentuh satu pun.
Ini adalah hikmah Nabawiyah dan Risalah. Dari kisah Nabi Ibrahim, kita memahami bahwa yang perlu diubah bukan hanya keadaan fisik, tetapi juga keyakinan di dalam hati dan pemahaman di akal. Jika hanya akal yang didebat, maka kaumnya tetap melakukan perlawanan. Sementara Rasulullah mendakwahkan tauhid dengan pendekatan hikmah dan mau’idhah hasanah, penuh kesabaran dan kesantunan. Beliau membiarkan berhala itu tetap ada, dan kelak berhala itu akan dihancurkan oleh tangan-tangan mereka sendiri, tangan yang pernah mengoleskan minyak wangi dan mempersembahkan sesajen. Karena ketika hati terbuka dan menerima hidayah Allah serta pikiran dipahamkan, mereka akan menolak keyakinan mereka sebelumnya tentang berhala tersebut.